Lagu Malam Braga
SELALU ada cita-cita dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan –yang berderet tak putus– acapkali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.
Angin malam akan membisikkan keloneng becak di kejauhan, yang mengangkut beban dengan setengah kantuk ke arah Tamblong atau Suniaraja. Sewaktu-waktu mengirimkan pula jerit roda mobil yang sengaja menikung dengan kecepatan tinggi di perempatan, dari arah Banceuy, menjelang para pedagang sop kaki kambing di sisi kali Cikapundung menutup warung.
Ia akan sedikit tersadar oleh suara mendadak itu, seperti cubitan mengagetkan pada gendang telinga. Tapi sebentar saja. Ia akan kembali melangkah dengan oleng, serupa kapal ferry yang menunggu di seberang dermaga, terayun-ayun oleh pertemuan gelombang selat. Bibirnya tersenyum dan mengguman: “Ah, anak muda borjuis! Apalagi yang mereka pikirkan selain makan terlambat? Menawar perempuan? Mengajak singgah ke diskotik? Dan menghabiskan sisa pagi di kamar motel? Puah! Ya, apalagi yang mereka pertimbangkan?”
Bulan yang berlayar di sela langit, begitu tenang dengan cahaya gadingnya, terapit jajaran rapat pertokoan Braga yang hangus oleh gelap malam. Ia menatap sambil terus melangkah di atas paving-block yang memang tidak rata. Melampaui toko demi toko. Terseok di antara mobil parkir yang nyaris beku oleh dingin malam. Serta-merta ia pun merapatkan jaketnya.
Dibayangkannya seorang puteri melongok dari teras Hotel Princess. Ia akan segera menunduk takzim, seolah silau oleh gemerlap mahkota yang terayun di atas rambut panjangnya. “Aku hanya seorang lelaki jelata,” pikirnya. “Yang setiap malam mabuk dan tertatih melewati halaman istanamu. Tak pantas aku menatap sepasang mata beningmu, bola kristal yang memantulkan setiap sinar. Jangan pandang aku! Segeralah menyingkir, atau masuk ke balairung. Aku hanya numpang lewat, karena tak ada rute lain, kecuali memutar kembali ke Jalan Asia-Afrika. Itu artinya aku mempertaruhkan seluruh tenaga yang tersisa, dan boleh jadi, akan jatuh sebagai buntalan tubuh di tepi jalan. Lalu embun akan berkerumun dan menyelimutiku sampai pagi datang, sampai seorang penyapu jalan menemukan badan kumalku. Ayo, menepilah, Sang Puteri!”
Ia pun tertawa dengan gigi yang tersingkap. Barisan tulang putih dengan hiasan endapan nikotin. Uap alkohol berhamburan memenuhi udara malam di sekitar mulutnya. Ia tertawa karena menyadari bahwa di depan langkahnya tidak ada seorang puteri pun. Hotel Princess hanya menyalakan lampu pada ambang pintu. Warna redup neon dari kotak kaca kusam itu menunjukkan bahwa masih ada kegiatan rutin orang menginap, satu dua saja, karena banyak hotel lebih baik di sekitarnya. Hampir semua pelanggan terserap ke hotel-hotel ber-lobby lebih lebar dan cahaya yang lebih terang. Ia masih tersenyum sambil melewati penginapan muram itu. Matanya menyeberang dan ditatapnya Amsterdam Café penuh perhatian.
Berhenti sejenak ia di trotoar, bersandar tiang lampu jalan. Setiap kali menatap balkon Amsterdam Café, dengan warna mediteranian, kuning tanah liat dan aksen merah bata, selalu saja teringat akan penginapannya. Tentu saja. Dulu ia meminta kepada pemilik penginapan untuk membuat jendela kayu seperti tingkap yang terpampang di atas kafé itu. Jendela yang akan membuatnya leluasa melihat ke luar, ke arah gang berliku dan sering basah oleh got yang meluap. Ke arah atap rumah perkampungan yang menurutnya sangat artistik. Terdiri dari genting aneka ragam, berlubang di sana-sini, atau seng-seng berkarat yang gagal mengembalikan sinar matahari. Parade jemuran, antena televisi, juga sangkar burung. Beberapa tumpukan sampah, dan deretan MCK yang begitu antusias menyiarkan bau amoniak.
Jendela itu menurutnya juga tampak artistik karena terasa betul ketidakrapiannya. Jendela yang membuka rahasia di luar kamarnya sebagai hawa kehidupan sejati. “Apakah pembuat jendela itu masih hidup?” Ia sibuk mengingat-ingat, karena ketika mengerjakan permintaannya, tubuh dan usia tukang kayu itu tampak sama renta. Buat apa dipikirkan?
Dilanjutkannya langkah, dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaket. Teraba oleh jari-jarinya bungkusan rokok yang membekas jumlah batang di dalamnya. Mungkin akan terusir rasa dingin dari tubuhnya dengan menghisap sebatang kretek filter. Ia berhenti sejenak, menyalakan rokok, menghisap dan menghembus asap, sebelum melangkah kembali. Sebentar lagi melewati Pos Satpam Braga. Setidaknya ada tiga orang penjaga di sana, satu di antaranya mengenakan seragam polisi. Di depan mereka harus bisa bersandiwara, pura-pura berjalan tegak. Asap rokok akan membuatnya terlindung dari aroma bir pada uap nafasnya. Selekasnya ia melintas, selekasnya ia melampaui kemungkinan dicurigai. Tiba di tikungan toko buku Nusa Cendana, ia pun berhenti.
Etalase yang sudah kehilangan separuh lampunya itu menampakkan buku-buku sastra. Sampul mereka mulai menguning oleh tempias matahari dari arah timur. Puisi- puisi di setiap halaman buku itu pasti jauh lebih awet dari sampulnya. Seperti puisi-puisi yang bergelimang dalam kepalanya. Ia masih hafal setiap kata yang pernah ditulisnya untuk para kekasih di masa lalu. Ada nama Anne dan Inne, yang tersimpan utuh dalam benaknya. Keduanya menetap dalam dada, turut mengatur detak jantung, dan membuatnya selalu tersenyum dalam luka memanjang.
Ah! Dengan ngilu ia mengusap wajahnya. Seperti bermaksud membersihkan airmata yang pernah membasahinya. Rambutnya yang mulai menyentuh bahu disusur dengan sepuluh jari. Seraya membayangkan segumpal hati yang bersitahan pada cinta tak sampai, hati yang tak patuh pada realitas, dan diremasnya agar menjadi serpih.
Lama ia tak menulis puisi semenjak membawa pulang sejumlah besar puisi dari Italia. Padahal di negeri itu seharusnya ia hanya melukis. Dengan model perempuan berambut pirang, kulit bau asam, payudara selicin pualam. Kadang-kadang tangannya perlu meremas untuk meyakinkan volume dan kelembutannya. Agar lukisannya lebih memiliki ruh, dan senantiasa mengalirkan hasrat untuk dipandang. Sampai kini ia lebih bergairah melukis, ketimbang menulis. Ia telah menyimpan banyak sketsa dalam angan-angannya. Setiap berjumpa kertas dan kanvas, ada saja yang mengucur dari jemarinya. Warna- warna yang menyala, mengaduh, menerjang, mengaum, merangsek, memendar, dan memancarkan tanaga melampaui batas pigura. Garis-garis yang mewakili gejolak perasaannya, tajam dan lugas, menyayat mata-hati.
Tiba-tiba ia disenggol seorang lelaki yang berjalan terburu-buru. Membuatnya sadar untuk terus melangkah. Penginapannya masih sekitar dua ratus meter, turun ke arah viaduct. Sebelum jembatan sungai, ia akan berbelok ke kiri, ke arah gelap. Tapi, sebelum itu, ia harus berhenti dan menunggu di depan Braga Sky Nite Club. Ia berjanji menjumpai Poppy. Tentu akan tampak seronok jika berdiri di bawah siraman lampu. Maka ia duduk di warung seberang, memesan minuman yang tidak menambah jumlah halusinasi.
Hanya Poppy yang selalu membuatnya tertawa di pagi buta, atau ketika siang terasa membosankan. Gadis itu yang memaksanya membuat tujuh langkah tangga saja di penginapannya. Padahal ia lebih menyukai angka delapan. Tapi apa boleh buat: tengah malam, papan pijakan terakhir dicopot dengan paksa oleh Poppy dan dihanyutkan ke sungai Cikapundung. Ia terkejut, nyaris terperosok ketika turun dari balkon kamarnya. Poppy yang memergoki hanya tergelak dengan lesung pipinya. Ia pun menghukum Poppy, dengan melukis wajah langsat itu mirip sketsa tentang kerusuhan. Tetapi, sesungguhnya ia tak pernah benar- benar marah kepada anak SMP yang begitu kerasan berjam-jam menemaninya melukis. Bahkan kadang- kadang dengan setengah telanjang, karena penginapannya memang panas. Tak tertolong oleh kipas angin yang berputar dengan suara menyedihkan. Poppy merasa nyaman dengan hanya berpakaian dalam.
Hanya kepada Poppy ia tak pernah bisa murka. Setiap kali hendak berbuat jahat kepada Poppy, selalu teringat akan Tifa. Cukup sering ia meninggalkan buah hatinya itu. Dalam perjalanan ke Eropa, atau pameran keliling Nusantara. Di saat memenuhi obsesi Sepanjang Braga ini, tak sanggup menipu diri: matanya digenangi bayang- bayang Tifa.
Digelengkannya kepala. Ia meneguk habis air jeruk dari gelasnya, lalu memesan lagi. Poppy belum muncul juga. Padahal sudah menjelang pukul dua. Apakah ia tertidur dalam diskotik itu? Atau telah lama menunggu dan pulang dengan kecewa? “Terlambatkah aku?” pikirnya.
Ia merasa sangat bersalah, andaikata gadis itu pulang lebih awal karena tak menemukan dirinya di pintu Braga Sky. Tapi, boleh jadi Poppy lupa waktu, lupa janji, dan terus terlena dengan musik yang mengalun keras. Atau gadis itu akhirnya mencoba minum bir hitam dan lupa jumlah yang harus ditenggak bagi sang pemula. Kalau benar, mabuklah dia! Mungkin kepalanya jatuh di atas meja, dan tak seorang pun peduli karena ruangan gelap dan suara demikian bising. Bisa jadi, ia terhuyung ke toilet, mengeluarkan seluruh isi perut, dan bersandar di dinding keramik dingin dengan pandangan nanar. Atau seorang pemuda memapahnya ke ruang karaoke, mencoba menyadarkan: mula-mula menepuk pipi, memberikan aroma minyak-angin, lalu... lalu melintas pikiran tak senonoh di kepalanya.
“Poppy!” desisnya dengan terperanjat. Membayangkan gadis itu tergolek di sebuah sofa, dalam sinar lampu yang redam. Lalu seorang laki-laki melakukan tindakan yang cukup beralasan, misalnya membuka bagian pusar untuk mengolesi balsam. Merentangkan kedua tangan agar nafasnya mudah mengalir. Mengendurkan risluiting celana jeansnya, supaya perut tidak terhimpit. Memikirkan sebuah cara pernafasan buatan, untuk membuat Poppy tersengal, terbatuk dan siuman.
Itu tak boleh terjadi! Ia bangun dari bangku. Meninggalkan selembar uang di meja yang lengket oleh tetesan pelbagai minuman. Lari menyeberangi jalan, diselamatkan oleh sepi. Nyaris ia menabrak Satpam dan seorang penjaga yang mengenakan blazer. Ia masuk ke lobby dan mendapatkan gema suara penyanyi di sana-sini.
“Mau ke mana, Mas? Cover charge-nya dulu...,” seorang perempuan dengan busana minimalis menyapa.
“Aku? Mencari Poppy.”
“Poppy? Pegawai di sini atau pengunjung?”
“Hari Rabu ini aku janji bertemu dia di sini!” jawabnya berang.
“Kalau begitu, besok malam datang lagi ya. Sekarang hari Selasa.”
BETAPA menggembirakan bila dengan sempoyongan ia bisa pulang ke penginapan. Memandang sekitar dengan nuansa warna kabut. Cahaya lampu yang letih menyiram wajah toko, berubah menjadi jutaan pixel. Ia akan melukis semua itu dengan separuh ilusi. Ia akan menulis ratusan sajak dengan sebagian hilang-ingatan. Ia berjalan pulang bukan dengan matanya, melainkan dituntun langkah kaki yang terbiasa mencium jejak sendiri di malam-malam sebelumnya. Tujuh langkah tangga ke balkon penginapan. Pintu kayu dengan cat terkelupas. Jendela yang meniru tingkap Amsterdam Café. Dan kunci yang harus diputar berulang-ulang.
Di ruang tidur, sekaligus tempat ia melukis, ditatapnya kanvas yang haus. Seperti wanita yang merentangkan kedua kakinya. Menunggu luapan nafsu sang pejantan. Dengan ribuan pelangi dalam lensa matanya, ia mengayun-ayunkan kuas seperti pemerkosa yang jalang. Nafasnya memburu, raut wajahnya tegang. Ia menciptakan komposisi warna dan garis yang tak mungkin terulang. Sampai akhirnya terguling, lelap dengan bibir membisikkan nama: “Tifa...”
Ia terbangun menjelang ngungun fajar, oleh suara mirip hujan yang memukul kaca jendela. Ia terbangun oleh suara gemuruh di luar kamar. Ia, sesungguhnya, terbangun oleh sengat dingin yang menyentuh kulitnya. Dalam cahaya muram, ia melihat sesosok tubuh tergolek di sisinya.
“Poppy!” Ia terpesona oleh pemandangan yang membuat perasaannya hancur. Kulit gadis itu sedingin es krim: cantik namun membeku. Pakaiannya basah kuyup, lengket dan menggambarkan seluruh bentuk di baliknya. Ia pun gemetar dan bimbang, tapi kemudian memeluknya. “Poppy...”
Selanjutnya ia tak ingat apa pun, sampai azan subuh membuatnya terjaga. Ia melompat dari lantai tempatnya terlelap. Di sebelahnya, seorang gadis tersenyum begitu manisnya. Sebelum jari-jari lentiknya menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.
“Poppy, apa kamu lakukan di sini?”
Gadis itu menurunkan selimut dari wajahnya, seperti menggoda. “Menjadi model lukisanmu,” jawabnya.“ Aku sangat suka caramu melukis tadi malam. Pelukis sejati!”
“Semalam aku melukis?” Ia mencoba menyalakan lampu yang membuat mata Poppy menyipit. Di atas kanvas yang tegak menghadap jendela, ia melihat lukisan gadis dalam posisi yang amat mengharukan. Meringkuk letih dengan seluruh tubuh basah, namun jelas denyut nadi di lehernya. “Semalam aku melukis?”
“Kau menjemputku di pintu Braga Sky. Kita melangkah berpelukan, dalam aroma malam yang memabukkan. Memasuki gelap, turun ke sisi jembatan. Mendaki tujuh anak-tangga, masuk ke kamar. Memintaku mandi tanpa melepas baju. Aku menggigil, berbaring bagai sekarat. Tapi aku suka. Aku suka melihatmu melukis seperti semalam.”
“Semalam aku melukis?” Ia mencoba menelusuri ingatan, mengurai seluruh kejadian. Sejak bercita-cita ingin mabuk dan menyeret langkah tengah malam menyusuri sepanjang Braga. Ia membayangkan lampu yang mencair seperti bubur emas, garis tembok pertokoan yang memudar, dan trotoar menyerupai punggung ombak yang lunak.
Angin malam membisikkan sepotong sajak untuk Anne, untuk Inne, untuk Tifa, yang dibaca perlahan, seperti sunyi keloneng becak dari kejauhan. Tapi ia tak pernah bisa mengingat keinginan yang sesungguhnya. Mengapa ia berada di sini?
Cerpen berjudul "Lagu Malam Braga" ini adalah karya penulis Kurnia Effendi yang dipublis pada media Koran Tempo, 30 Maret 2003. Menjadi salah satu koleksi cerpen yang tertuang dalam buku Senapan Cinta. Dimuat kembali dalam blog SyamSalabim dengan tujuan pendidikan bahasa atau literasi sastra.
Hak cipta dimiliki sepenuhnya oleh penulis bersangkutan dan media terkait yang menayangkan pertama kali. Jika ada yang keberatan dengan keberadaan cerpen romansa Lagu Malam Braga pada blog ini, silahkan hubungi kami untuk menghapusnya.
0 Comments