Cinta dan Sampah
KETIKA Magda berkata kepadaku bahwa hubungan kami telah berakhir, aku tidak berpikir tentang sampah. Dia berkata begitu dengan tiba-tiba, amat lancar, saat kami makan malam dan seharusnya merayakan ulang tahun kebersamaan kami yang kelima sejak awal berpacaran.
Aku baru saja berdiri, mengangkat gelas, dan menyatakan hendak bersulang, saat dia memotong, “Turunkan gelas dan tutup mulutmu—aku punya hal penting yang mau kukatakan kepadamu.”
Suaranya sekonyong-konyong jadi terdengar dingin sehingga aku merasa kupingku membeku. Aku duduk, menaruh gelas, dan menatap Magda. Tak bisa kuterka apa yang bakal dikatakannya. Seulas senyum masih saja bermain di bibirku. Magda menggeser letak botol anggur, bubuk garam, asbak, vas bunga—pokoknya segala yang terletak di antara kami—lalu berkata, “Kurasa sebaiknya kamu berhenti cengengesan.”
Suaranya begitu dingin sehingga aku tahu aku tak punya pilihan lain. Dengan jemariku kuusap bibirku yang membeku dan terus menatapnya. “Ini tak akan lama,” ucapnya lalu melanjutkan berbicara selama lebih dari dua puluh menit.
Dia mengatakan hal-hal yang biasa diucapkan orang dalam situasi semacam itu: bahwa kami pernah berbahagia bersama, sungguh luar biasa kami pernah punya kesempatan untuk lebih saling mengenal, ada saat-saat yang akan dia kenang selamanya, betapa memalukan kami sampai harus berpisah, tapi hidup ini punya aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi.
“Pendeknya,” dia bilang, “ini akhir hubungan kita dan kini aku harus pergi.” Dia kembali memindahkan asbak sehingga berada di antara kami, mematikan rokoknya di asbak, dan beranjak pergi.
Pramusaji menghampiri meja setelahnya dan bertanya kepadaku apakah aku mau memesan sesuatu untuk hidangan penutup. “Kenapa tidak,” ujarku dan memesan crepes isi cokelat. Pramusaji itu mengangguk, mengosongkan asbak lalu menaruhnya di dekatku. Tak ada orang lain sama sekali di seberang meja. Saat itulah, tepatnya, gagasan tentang sampah melintas di benakku.
Itu semua bermula kala aku meminta pakaian dalam yang dia pakai pada malam ketika kami bercinta untuk kali pertama. Sebenarnya, malam itu dia tidak mengenakan pakaian dalam. Sebab, saat melakukan percumbuan awal, kami melepas seluruh pakaian kami. Setelahnya, saat dia hendak berpakaian, kuraih celana dalam dan kutangnya seraya berkata, “Tinggalkan ini di sini.” Magda memprotes, beralasan dia tak sanggup berjalan di tengah kota tanpa pakaian dalam. Namun, akhirnya dia menyerah. “Mau kamu apakan pakaian dalam itu?” Kukatakan kepadanya hal pertama yang melintas di benakku, “Ini awal mula museum cinta kita.”
Demikianlah kisahnya bagaimana aku menjadi kurator museum cinta kami dan terus memantau hubungan Magda dan diriku. Setiap potongan kertas, tisu, tiket bioskop, kartupos, label pakaian, stoking robek, kantong teh celup kamomil bekas, pena yang sudah habis tintanya, bekas bungkus pasta gigi, resep kue cokelat yang buruk fotokopiannya, baju renang yang dia pakai saat kami berlibur di Yunani, guntingan foto-foto, selimut dari pesawat, kaleng-kaleng kosong—kubawa semuanya ke apartemenku dan kusimpan di dalam kotak-kotak penyimpanan serta album foto.
Aku membingkai dan menata semua itu di atas rak-rak. Aku bahkan punya herbarium tempat mengawetkan bunga-bunga dan dedaunan dari tetumbuhan miliknya dan dari buket yang dia terima dalam berbagai peristiwa. Di sebuah kotak, aku bahkan memelihara rayap-rayap yang harus kutangkap dengan amat susah-payah. Kusimpan mereka karena dia memiliki fobia terhadap binatang-binatang itu. Dalam berbagai buku dan fail, kusimpan catatan dan rekam data yang amat rinci tentang semua benda itu selain deskripsi tentang setiap benda, kucatat juga di mana dan bagaimana hingga benda-benda itu menjadi bagian museum kami, serta di mana tepatnya letak benda-benda tersebut di apartemenku.
Hal terakhir itu sunguh amat penting karena selama lima tahun kami berkencan—yang berarti selama itu pula museum ini berdiri dan beroperasi—apartemenku telah menjadi gudang beragam kantong, kotak, fail, lemari penyimpanan data, dan rak, atau—seperti yang sering kukatakan kepada Magda—”labirin cinta kita yang menakjubkan.”
Kini aku berdiri di dalam labirin itu—dan rupanya Magda telah lama menemukan jalan ke luar dari situ—dan menatap heran saat ternyata semua benda itu kini telah kehilangan kilaunya. Segala yang hingga kemarin merupakan pengingat dan rekaman cinta kami, kini telah menjadi sekadar beban kenangan, limbah tak berguna, sampah. Dan jika sebelumnya hatiku akan terenyuh setiap kali teringat pada, katakanlah, sehelai kertas tisu yang digunakan Magda untuk menyeka keningnya, kini yang ada hanyalah bau busuk yang meruap dari sebuah kantong yang dipenuhi tisu-tisu bekas dia pakai. Kusadari, cinta ternyata tak hanya buta, tapi juga tuli, menumpulkan penciuman, serta menghambat indra perasa dan peraba.
Apartemenku terletak di lantai lima sebuah gedung yang tak dilengkapi lift. Saat aku membuangi apa yang hingga belum lama ini menjadi koleksi museum cintaku, otot-ototku terasa ngilu akibat kerja keras. Kukutuk cinta dan Magda dan takdir yang telah mempertemukan kami serta sebab yang telah memisahkan kami. Diriku sendiri, secara alamiah, tak kusebut di dalamnya. Sebab, setahuku, ini bukanlah kesalahanku. Memang benar, seiring bertambah dahsyatnya koleksi museum cinta kami, aku lebih berkembang menjadi seorang kurator ketimbang seorang kekasih. Tapi aku melakukan semua itu justru demi cinta, bukan untuk merongrong cinta kami. Seandainya Magda bersedia mendengarkan aku, segalanya pasti akan jauh berbeda. Tapi kini semua sudah terlambat.
Aku berdiri di sisi tong sampah besar, membuka kotak terakhir dan membuang sisa koleksi museum: baju dalam Magda yang talinya sudah putus; kotak kentang McDonald's berminyak (dengan kata “Budapest” tertulis di sudut; bebat lutut Magda yang kotor (dua pasang); satu dus besar kondom (belum dipakai; yang sudah dipakai, karena Magda bersikeras menolak, tak kusimpan); piyama yang dikenakan Magda ketika kali pertama dia mengatakan bahwa dia mencintaiku; hasil tes dokter yang memastikan dia hamil (tapi ternyata tidak); hasil tes dokter yang memastikan dia tidak hamil (tapi ternyata hamil); secarik kertas yang ditulis Magda: kamu dan aku? (dan aku tak tahu kata-kata apa yang mendahului pertanyaan itu); dan banyak lagi barang yang satu demi satu, tanpa pandang bulu, kulemparkan ke dalam tong sampah besar untuk menjalani proses transformasi tragis dari koleksi museum yang bernilai menjadi remah sampah kota yang tak bermakna.
Aku takjub sendiri pada betapa cepatnya saat cinta lenyap bersamaan dengan hati yang berbalik seperti kaos kaki, meski aku yakin ini bukan salahku. Sampah itu berguna, terutama jika didaur ulang. Namun, cinta yang tak berbalas sungguh tak ada gunanya. Itu hanyalah dedak yang bisa membelenggu hati. Tak lebih. Sampah masih lebih baik.
Cerpen dengan judul "Cinta dan Sampah" ini adalah karya David Albahari dalam salah satu koleksi Koran Tempo, 2015. Cerpen ini dialihbahasakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan bahasa Inggris Ellen Elias-Bursac. Akhirnya ditulis ulang blog SyamSalabim dengan tujuan edukasi sastra.
Hak cipta sepenuhnya milik penulis yang namanya dikutip dengan baik dalam artikel ini beserta sumber lain yang disebutkan. Jika ada yang keberatan dengan pemuatan cerpen romansa Cinta dan Sampah melalui blog ini, silahkan menghubungi kami untuk menghapusnya.
0 Comments