Usiaku 13

Usiaku 13

NAMAKU Muhamad Bagaskara, teman-teman biasa memanggilku dengan sebutan Bagas. Aku sering dijuluki si anak batu, mungkin karena aku memiliki karakter yang sangat pendiam. Tapi aku sama sekali tidak pernah marah dengan julukan itu, pikirku itu hak mereka menjulukiku seperti itu.

Sebenarnya aku hanya tidak ingin banyak omong apalagi jika omonganku itu tidak bermakna rasanya tidak penting bagiku. Usiaku sekarang menginjak 13 tahun, angka yang bagi sebagian orang memiliki makna yang sangat buruk.

“Aku merinding jika aku ingat angka itu, rasanya ngeri sekali, kata orang sih itu angka sial!” Aku mencoba untuk tidak percaya tentang angka itu.

“Aaah… semua angka bagiku sama.” Aku sering menepis tentang hal ini. Tapi rasa itu begitu kuat manakala teman-temanku selalu mengatakan akan hal itu. Perlahan aku pun terpengaruh dengan mitos itu, angka itu memang sial bagiku dan aku memiliki buktinya. Di saat usiaku 13, aku memiliki pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan, bagiku itu cukup bahwa angka itu memang sial bagiku.

Miris memang di zaman milenial ini masih memercayai hal mistis seperti itu. Tapi itulah yang terjadi, di usiaku yang ke 13 aku mengalami kesialan itu. Pengalaman itulah yang membuatku yakin akan mitos angka itu. Tiga belas adalah angka sial dalam hidupku. Dalam satu kesempatan aku pernah bertanya tentang hal itu pada ibuku.

“Bu! Percaya enggak kalau angka 13 itu adalah angka sial?” tanyaku pada ibu sambil menatap ke arah ibu yang sedang terduduk sambil mengerjakan sulaman pesanan orang tidak jauh dariku.

“Apa? Kok, kamu bertanya seperti itu, Gas?” jawab ibuku sambil beranjak dan duduk persis di sampingku, dia hentikan sulamannya. Sesaat kemudian tangannya membelai kepalaku. Entahlah aku merasa nyaman setiap kali ibu membelai kepalaku. Seperti halnya saat itu, terasa sangat nyaman, aku memang sangat dekat dengan ibu.

“Iya, Bu! Banyak temanku yang bilang kalau angka itu begitu sial…!” ujarku tersendat. Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku karena ada desakan kesedihan dalam dadaku yang begitu hebat menerjang. Aku hanya bisa menarik napas yang panjang sekali. Aku tidak sanggup berkata-kata, lidahku terlalu kelu untuk berucap. Terasa dadaku terimpit desakan kesedihan yang teramat dalam. Hingga membuat napasku tersenggal-senggal.

“Memangnya kamu merasakan kesialan apa?” Tanya ibuku sambil tersenyum kecil kepadaku. Anak dan ibu itu terdiam untuk beberapa saat, suasana pun menjadi hening. Sesekali mereka hanya beradu pandang penuh tanya. Aku terdiam dan terdiam belum mampu memberi sebuah jawaban yang akan membenarkan pendapat tentang angka 13 itu. Pikirku bergejolak, pandanganku hanya tertuju pada ibuku. Kini ibu adalah segalanya bagiku. Ibuku seorang yang sederhana, dialah orang terhebat dalam hidupku, yang melahirkan, merawat, menjaga, dan membesarkanku hingga tumbuh sehat seperti ini. Ibuku menjadi tulang pungung keluargaku saat ini.

“Bu!” tanyaku singkat sekali. Tatapanku tertuju pada ibuku yang terlihat penasaran. Entah dorongan dari mana tiba-tiba aku menghambur dan merangkul ibu erat sekali. Saat itu aku begitu melankolis, seakan menjadi laki-laki yang sangat cengeng.

“Kamu kenapa? Ceritalah pada Ibu, jagoanku!” Jawab ibuku seraya membelai kepalaku penuh kasih dan sayang. Aku masih belum bisa menjawab tanya itu, aku masih terdiam seribu bahasa. Angin pun seakan berhenti berembus dan bersiap mendengarkan jawabanku tentang sebuah tanya yang ibu lontarkan.

“Memangnya kamu merasakan kesialan apa?” kembali ibu mengulang pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu kembali membuat emosi jiwaku bergejolak sampai ke dasar hati yang paling dalam.

“Iya, Bur jawabku pendek sambil terisak menahan tangis.

“Apa buktinya kalau angka 13 itu sial bagimu?” tanya ibu sambil menatap ke arahku penuh arti, kemudian lagi-lagi ibu membelai kepalaku penuh kasih. Aku merasakan kenyaman itu lagi dan lagi. Hatiku merasa tenang dibuatnya.

“Apakah Ibu tidak akan marah jika aku jujur, Bu?” tanyaku seraya menatap wajah ibuku yang selalu berada di sisiku di saat aku dalam masalah. Terlihat ada gurat kelelahan di wajahnya karena harus banting tulang mencari nafkah untuk keluarga. Sementara aku belum bisa apa-apa karena aku masih duduk di bangku SMP. Itu semua jadi tanggung jawab ibu karena ayahku telah meninggal beberapa waktu yang lalu disebabkan penyakitnya yang tak kunjung sembuh.

Orangtuaku selalu bercerita padaku agar suatu hari aku harus menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi orang banyak dan tidak egois memikirkan diriku sendiri. Ayahkulah yang selalu memotivasiku agar selalu maju dan terus berjuang demi mencapai semua yang aku cita-citakan sejak aku masih kecil dahulu. Cita-citaku adalah ingin punya banyak uang dan punya rumah mewah yang bertakhta emas dan permata. Hal itu menjadi sebuah kenangan terindah bagiku.

“Nak, jangan bengong, ayo ceritakan pada Ibu, kenapa kamu percaya angka 13 itu sial bagimu?” desak ibuku dengan gaya bicara yang sangat enak didengar. Aku sangat kenal ibuku, seingatku ibu belum pernah marah padaku, meski kadang aku melakukan kesalahan.

“Aku, tau Ibu tidak pernah marah.” Jawabku sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

“Ibu tidak akan pernah marah padamu, Sayang!” Jawab ibu sambil menatapku. Aku tidak sanggup membalas tatapan itu

“Aku percaya bahwa angka 13 itu sial bagiku, Bu!” jawabku sambil tertunduk lebih dalam lagi. Tak sanggup aku menatap wajah ibu.

“Iya tapi apa buktinya?” tegas ibuku lagi. Untuk sesaat aku terdiam, air mataku mulai berderai membasahi pipiku. Tak kuasa aku menahan rasa yang begitu mengiris hati. Tangisku pecah saat itu sebelum aku mampu menjawab pertanyaan itu. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kelaki-lakianku, aku ingin menangis dan menjerit meratapi nasib ini.

“Bagas! Apa yang membuatmu sesedih ini?” Tanya ibuku dengan air muka yang menyiratkan kesedihan melihat kondisiku seperti sekarang ini. Aku mencoba menenangkan emosiku, meski sangat susah karena emosiku terus mendesak.

“Iya, Bu!” jawabku singkat sekali.

“Ceritakanlah pada Ibu, kenapa kamu merasa sial dengan usiamu yang ke-13 itu?” Tanya ibunya lagi. Tangannya mengusap air mataku yang terus berderai membasahi pipiku. Perlahan akhirnya aku mencoba menjelaskan pada ibu kalau mitos itu benar sekali menimpa hidupku di usia ke-13.

“Di usiaku yang ke-13, aku kehilangan sosok ayah untuk selamanya dan kini aku menjadi anak yatim, Bu!” ujarku seraya membenamkan kepalaku di pangkuan ibu yang hanya bisa terdiam mendengar penjelasanku. Sesaat aku mendengar isakan tangis ibu pecah, terasa tangan lembutnya membelai kepalaku. Dalam isak tangisnya, ibu terdengar berujar.

“Jadi ini yang kamu anggap sial, Nak!” ujar ibu dengan nada suara memarau di sela isakan tangisnya yang seakan tidak bisa tertahankan lagi. Aku mencoba menegakkan kepalaku dan mencoba menatap wajah ibuku penuh dengan kepiluan. Aku hanya mampu menganggukkan kepala pertanda mengiyakan pernyataan ibu.***

27 Januari 2019



Cerpen anak berjudul "Usiaku 13" berikut adalah karya penulis Agus Nurjaman yang pernah tersiar dalam surat kabar Pikiran Rakyat, 2019. Cerpen ini dipublikasikan kembali oleh blog SyamSalabim dengan tujuan pendidikan literasi atau keilmuan sastra.

Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh Agus Nurjaman selaku penulis cerpen serta koran Pikiran Rakyat sebagai media yang memuat pertama kali. Jika ada yang keberatan dengan penyalinan Cerpen Anak Usiaku 13 dalam blog ini, silahkan hubungi kami untuk menghapusnya.