Tulang Rusuk

Tulang Rusuk

Angin pagi membawa sisa gerimis, membuat aku melompat-lompat agar segera tiba di teras apartemen itu. Kupastikan kunci rumahku tertinggal di meja kamar Haris! Sehabis ngobrol semalam, masih sempat aku keluyuran mencari minuman kaleng untuk mengisi kulkas. Namun rupanya aku tak dapat memasuki rumah, kecuali dengan mencongkel engsel pintu. Alangkah kesal! Aku harus mengemudi kembali menyusuri jalanan basah, dari ujung timur ke bagian selatan Jakarta. Padahal sebentar lagi fajar.

Kulempar senyum kepada seorang satpam yang mulai sayu, seperti sayuran yang terlantar semalaman. Remang pagi membuat lampu-lampu masih menyala. Aku masuk ke dalam lift yang dingin dan lengang. Suara tambang baja yang mengangkat kabin lift terdengar gemetar, seperti sewaktu-waktu hendak menolak perintah motor listrik yang menggerakkannya. Di lantai sebelas hidungku menemukan hawa lembab yang menguap dari karpet.

Senyap, setelah pintu lift tertutup kembali. Aku melangkah seperti kucing, ke arah lorong apartemen Haris. Mungkin bujangan itu sedang berada di tengah lelap. Menikmati sebuah mimpi yang terlambat. Namun tiba di depan pintu, darahku tersirap oleh rintih samar.

Kuketuk pintu seraya memanggil nama, sejak perlahan hingga sekuat tenaga. Sampai akhirnya kudobrak pintu apartemen dengan tiga kali gempuran. Kucari arah lenguhan, dan mendapatkan Haris di tempat tidur dalam keadaan banjir darah. Aku terperanjat. “Haris, kenapa kamu?!”

Kukira semata ilusi ketika melihat Haris tersenyum. Darah yang menghambur dari bawah dadanya pasti membuatnya kelewat sakit. Seharusnya ia meringis, menahan nyeri. Seulas senyum justru menjadi kemustahilan bagi mataku. Segera kuraih telepon, kuhubungi kawan yang nomornya kuingat di luar kepala. Juga satpam dan tetangga di apartemen itu, siapa pun mereka yang nomornya tercantum di sisi cermin.

Kututup badan Haris dengan selimut. Telapak tangan kanan Haris menghilang ke bagian perutnya. Ia pasti berusaha mendekap sumber aliran darah yang menderas. Ia mengerang seperti aum singa, tidak perduli atas usahaku membebat tubuhnya. Sesaat matanya tampak bersinar. Kerlip beribu bintang terhimpun di sana.

“Haikal! Aku berhasil! Uh!” Tangan kanan Haris keluar dari kubangan darah di atas perutnya, dengan sebatang tulang lengkung dalam genggaman. Mataku terbelalak. Perasaanku menderu. “Apa maksudmu?!”

“Kudapatkan tulang rusukku...!” Suaranya serak. Mirip gesekan daun kering dihembus angin di atas aspal kasar. Kukira, setelah itu Haris pingsan.

Seketika perutku mual. Amis darah menyergap hidung. Sebelum kulakukan apa pun yang bermanfaat, aku sempat muntah. Lantai terasa licin oleh genangan merah. Tenagaku mulai susut, ngilu memandang darah. Kupanggul Haris dengan sempoyongan. Darah menyiram pundak dan mengalir ke punggung,

Beberapa orang datang, termasuk satpam, yang memandang curiga. Mungkin aku tampak serupa jagal yang menggotong korban untuk dikuliti. “Tolong, panggil ambulans! Hubungi rumah sakit secepatnya!”

Air mataku leleh dengan sendirinya. Bagaimana pun, Haris sahabatku terdekat. Ia tidak kuperkenankan mati. la harus bertahan hidup! Orang-orang memandang dengan wajah pasi: takut, ngeri, jijik; sebelum bergegas tak tentu arah. Aku masuk lift, tiga orang di dalamnya panik berhamburan keluar. Kujaga pintu agar tidak membuka di setiap lantai. Darah menetes-netes seperti air yang mengucur dari jemuran sebelum diperas. Kucoba mengingat rute tersingkat menuju rumah sakit terdekat.

Aku menemukan ambulans parkir di depan apartemen. Seorang paramedis penghuni apartemen, rupanya kerap membawa pulang ambulans.

“Dokter, tolong kawanku ini dibawa ke UGD! Berapa pun akan kubayar!”

Dokter itu terperanjat. Tapi satpam dan orang-orang turut membujuk. Ia pun membuka pintu belakang. Sebuah ranjang beroda diturunkan.

“Siapa mau nyetir?” tanya dokter, lebih mirip hardikan. “Ayo siapa saja! Bawa kami ke rumah sakit!” Lalu seorang laki-laki menjadi sukarelawan. Ia melompat ke belakang kemudi dan langsung menancap gas mobil yang mesinnya telah menyala.

“Bunyikan sirine!” perintah dokter. Sementara itu kami membantu pekerjaannya, menahan separuh nyawa Haris. Bekerja cepat, meringkas empat semester kuliah kedokteran dalam waktu beberapa menit, atas instruksinya. Aku nyaris lupa dengan sepotong tulang yang masih digenggam erat tangan Haris.

“Ini...?” Dokter itu takjub. “Siapa yang mematahkan?”

“Dia sendiri,” sahutku jujur.

Sirine meraung. Jalan raya pukul enam pagi beranjak sibuk. Sang sopir darurat bisa mengambil jalur pelanggaran dengan baik. Setiba di rumah sakit, warna darah hampir memenuhi selimut. Salah seorang dari kami menahan ketinggian botol infus sambil berlari. Aku berdoa tak henti-henti. Tapi Haris tak mendengar. Kurasa dia coma. Sepasang malaikat di kedua bahunya tentu menangkap nada tak rela dari keluhanku. Aku sedang minta izin Tuhan, agar Haris tak meninggal oleh peristiwa ini.

Meski paramedis di rumah sakit itu serba cekatan, hari terasa panjang nian. Kini kurasakan rintih perih di lambung. Mataku mulai berkunang-kunang. Dokter menyarankan aku pulang dan membesuk keesokan harinya. Anjuran itu menyimpulkan nasib Haris: sampai esok hari dia akan hidup.

Wajah Haris masih sepucat jenazah. Kujabat tangan lunglai yang sebelumnya begitu gagah membetot costa XII dari bawah rongga dadanya.

“Kemarin kamu datang tepat waktu, Haikal. Terima kasih,” ujarnya puas.

“Kalau tidak, kami harus menggali makam untukmu.”

“Kamu telah menjadi saksi keberhasilanku mendapatkan jodoh.”

Apa katanya? Mendadak ingatan tentang mimpinya menyembur di benakku. Dalam mimpi itu: Haris menunggang kuda di tengah gurun. Di tengah keterasingan, ia melihat lelaki gagah memacu kudanya. Jubah putihnya berkibar seperti tebaran awan. Ia pun memburu lelaki bersorban itu, dan berseru: “Tuan! Berhentilah!”

Laki-laki itu berhenti, bersuara tanpa menoleh. “Ada apa Tuan memanggilku?”

“Aku mencari tempat istirahat yang teduh. Apakah Tuan tahu tempat itu?”

“Sesungguhnya tak jauh dari Tuan. Itu ada dalam rongga dada Tuan.”

Haris memandang punggung yang tegak. “Aku tak mengerti maksud Tuan?”

“Bukankah yang Tuan cari adalah tulang rusuk?”

Mendengar jawaban itu, Haris termangu. Selanjutnya laki-laki itu menepuk pantat kudanya. Serentak turangga itu melompat dan lari. Jarak antara mereka kian lebar dan tak terjangkau lagi. Haris kehilangan tilas. Dan terjaga.

Mimpi itu semula dianggap sebagai bunga tidur, Namun ada bisikan yang menggoda: Tidakkah Tuan ingat kisah diciptakannya Siti Hawa untuk menemani Adam? Bisikan itu mengganggu, baik malam maupun siang. Tidakkah Tuan bisa membayangkan dari mana datangnya Ibu Hawa? Haris memutar kepala untuk menangkap basah peri atau makhluk usil yang mengusik. Tapi tak terlihat sesuatu tanda atau isyarat. Bisikan itu menerobos ke relung telinganya: Tidakkah sekarang Tuan kesepian seperti Adam di saat awal? Haris yakin: tulang rusuk dalam mimpinya adalah teman pendamping.

“Tapi bukan berarti kamu patahkan tulang rusukmu!” Usaha merobek pinggang, memasukkan tangan ke dalam lapisan daging, mencari deretan iga di dalam rongga torso, dan mematahkan tulang yang melayang di urutan paling bawah... bagaimanapun terasa muskil. Haris toh bukan bermaksud memasak sop konro dari iganya sendiri.

“Jangan punya pikiran seperti itu, Haikal.” Ditepuknya punggung tanganku. Sisa anastesi membuat Haris makin ngelantur. Kukira kondisi psikisnya mulai hancur. Pikirannya dirayapi kabut halusinasi. Kubiarkan mata Haris mengatup, asalkan tidak untuk selama-lamanya. Kupikir, letihku juga belum berakhir.

Aku menoleh refleks oleh suara kenakan di pintu ketukan di pintu. Seorang juru rawat cantik masuk membawa senyum dan kesiur udara wangi.

“Waktunya makan dan minum obat,” Suaranya lembut.

“Namanya Sofia,” Haris memperkenalkan.

“Haikal.” Kugenggam telapak tangannya yang hangat.

“Mau minum obat?” Sofia mengalihkan perhatian. “Tapi harus makan dulu.”

“Aku mau jalan-jalan di luar,” kataku kemudian. Aku tersentak oleh desakan pada kandung kemihku. Sungguh-sungguh tersentak! Terbangun dari lelap di sisi ranjang Haris. Dingin AC telah membuat batang kemaluanku mengencang, menghimpun air yang gagal menjadi keringat.

Tak ada Sofia di sini! Tapi sebelum berdiri, kudengar ketukan di pintu. Perempuan mirip Sofia muncul dari lubang pintu. Langkahnya lekas, tapi nyaris tanpa suara. “Dia masih tidur?”

Kubiarkan dia mendekati ranjang, mencium pipi Haris tanpa membangunkannya. “Biarkan dia istirahat. Masih punya waktu satu jam untuk minum obat,” pesannya padaku, sebelum melangkah keluar kamar. Aku melompat ke ambang pintu.

“Maaf, apakah namamu Sofia?” tanyaku tak sabar.

“Tahu dari mana?” la balik bertanya. Perlukah kuceritakan mimpiku? Kubiarkan ia kembali melenggang, dengan sisa wangi memenuhi udara.

Aku mengikuti rencana dalam mimpi, mencari toilet di luar kamar. Sambil menghirup udara segar di sepanjang koridor. Melangkah lambat, menatap motif marmer lantai rumah sakit. Gambar serabut yang mengingatkan serat pada telapak tangan. Urat marmer itu dibentuk oleh metamorfosa alam, berpuluh atau beratus tahun lamanya. Sedang rajah pada tangan, mungkin terbentuk oleh aliran irama hidup dari hari ke hari.

Apa hubungan antara garis tangan dengan tulang rusuk? Astaga! Aku tersengat oleh ingatan yang dahsyat. Aku berhenti, berbalik, menghadap ke tempat aku mulai melangkah. Tampak garis pintu ke tujuh, kamar pasien bernama Haris. Apakah Sofia gadis yang terlahir melalui tulang rusuknya? Kurasakan getaran pada seluruh tubuh. Menggigil oleh perasaan ganjil. Telah sembilan tahun bersahabat dengan Haris, namun baru sekarang kuperoleh kenyataan yang sulit dipercaya. Aku bergegas kembali menuju kamar Haris.

Kudorong pintu perlahan. Haris baru saja makan dan minum obat. Seolah satu jam yang lalu dia terjaga dan mencuci muka. Kamar tampak rapi dan harum. Selekas itu? Aku baru saja menyelesaikan enam puluh langkah, tak lebih!

“Hai, dari mana?” Ia melemparkan majalah ke arahku. “Tak jauh dari kamar ini...” jawabku bimbang.

“Padahal aku ingin memperkenalkan kamu dengan Sofia,” sesal Haris.

Aku mulai mencurigai waktu. Kulihat arloji dan wajah Haris berganti-ganti. Mengharap ia bercanda. Tapi mangkuk dan gelas di sisi ranjang sudah kosong. Tiba-tiba terpikir: mungkin aku perlu istirahat. Maka kuputuskan untuk pamit.

“Terima kasih, Haikal. Apakah tulang rusukku masih disimpan?”

Sepatuku memukul lantai paving-block. Kutinggalkan rumah sakit dengan wajah Sofia di pelupuk mata. Sofia dalam mimpi, dan Sofia yang benar-benar kuajak bicara. Ia mencium pipi Haris! Apa hubungan gadis itu dengan tulang rusuk? Sebaiknya kau mempercayaiku, Haikal. Sofia adalah tulang rusukku. Bisikan Haris bergema dalam telinga. Sambil berjalan aku memandang sekitar. Aku mulai meraba bawah ketiak. Menelusuri tekstur pada dagingku, deretan pematang yang menonjol sampai ke pinggang. Diam-diam menghitung: di mana letak iga keduabelas?

Tiba di rumah, kuseduh kopi untuk membangun kembali tenaga yang longsor. Kunyalakan televisi keraskeras agar dari kamar mandi bisa kudengar berita petang.

Ketika telanjang, barisan tulang rusuk yang membentuk rongga dada tampak lebih jelas. Di bagian ulu hati, daerah yang bisa kempis jika kita menarik perut ke dalam, mungkin menjadi jarak terdekat untuk mengambil tulang yang melayang di urutan paling bawah. Air yang mengguyur dari pancaran shower merambah setiap pematang di dadaku, meresap ke pori-pori dan pembuluh.

Sofia masih lajang, Haikal! Kini perasaanku mulai terganggu oleh mimpi. Sambil berbaring, kutatap dinding kamar. Pada salah satu sisi kugantungi banyak koleksi senjata tajam. Ada mandau dari tepi Mahakam. Rencong oleh-oleh perjalanan. Keris peninggalan kakek. Celurit, bersebelahan dengan pecut. Dan sebatang samurai dari kios barang antik.

Dengan apa Haris merobek lambung kirinya? Aku tak sempat bertanya. Kutarik laci meja di sisi tempat tidur. Aku mendapatkan sebilah belati, yang kubeli sewaktu tergila-gila dengan kisah Jim Bowie. Kuhunus batang logam itu dari sarung kulit yang mulai memar. Lingirnya berkilat oleh siraman cahaya lampu. Menggoda keinginanku. Tanganku mulai meraba barisan iga di bawah ketiak. Menghitungnya dari atas. Kucari bilah keduabelas dari tulang rusukku. Sementara aku masih bisa mendengar siaran berita televisi.

Jakarta, 26 Juni — 18 September 2013



Cerpen berjudul "Tulang Rusuk" di atas merupakan karya sastra Kurnia Effendi yang pernah dipublikasikan pada media Matra, Desember 2003. Cerpen ini menjadi salah satu koleksi yang termuat dalam buku Senapan Cinta. Ditulis ulang oleh SyamSalabim dengan tujuan pendidikan literasi untuk menambah minat bacaan.

Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh Kurnia Effendi sebagai penulis penuh kisah dalam cerpen tersebut. Jika ada yang keberatan dengan keberadaan Cerpen Horor Tulang Rusuk dalam blog ini, langsung saja menghubungi kami untuk menghilangkannya.