Alyesha Tak Mau Tidur

Alyesha Tak Mau Tidur

Ini hari ketiga Alyesha tak mau tidur. Gadis tiga belas tahun itu belum memejamkan mata sejak tujuh puluh dua jam yang lalu. Sejak ia digandeng seseorang turun dari pesawat dan berlari dengan cara melayang (menurut istilahnya) ke suatu kamar. Ia merasa tertipu, karena pada awal keberangkatannya tidak pernah dijanjikan akan singgah di kamar ini.

Yang dimaksud sebagai kamar adalah sebuah ruang serba putih. Alyesha telentang pada satu-satunya ranjang (menurut pengertiannya, karena memiliki selembar kasur yang empuk namun tak diketahui terbuat dari apa, sebab lebih mirip busa kocokan putih telur) yang terletak di tengah-tengah. Dari langit-langit tumpah cahaya yang tidak menyilaukan namun menerangi seluruh ruangan. Pintunya juga berwarna putih, dengan garis kusen yang nyaris tidak kentara sebagai batas terhadap dinding. Tak ada warna lain kecuali kulit tubuhnya yang seolah tersembul begitu saja dari pakaiannya yang putih. Pun tak ada suara, bahkan detak jantungnya.

Bukankah ia hendak nonton konser Blue di Plenary Hall? Bukankah ia telah menyiapkan buku kecil untuk ditulisi nomor telepon Duncan dan Lee? Juga Simon dan Anthony? Mereka akan diminta tandatangan. Bukankah ia telah memilih t-shirt baru untuk memberi kesempatan mereka berempat mencoretkan kata-kata manis di punggung?

Alyesha geram bukan main, ketika pesawat yang ditumpangi dari Singapura menunjukkan tanda-tanda khianat. Pada tiket tertera inisial CGK. Dia tahu itu berarti Cengkareng. Dia tahu bahwa Cengkareng terletak di Jakarta, di Indonesia. Ia memang ingin datang ke negeri damai yang warganegaranya pernah membunuh 180 orang dengan bom rakitan di sebuah kafé yang riuh. Ia memang ingin menyeruput es kelapa muda di negeri nyiur-melambai, yang sebagian rakyatnya terlunta, dan sebagian besar pejabatnya korupsi. Dia juga ingin berendam di pantai berpasir putih sepanjang tepi laut Jawa, Bali dan Lombok, yang sebagian. masih perawan. Perawan? Ya, seperti diriku.

Karena itu, sewaktu pramugari mengatakan pesawat akan mengubah arah penerbangan, Alyesha mulai tidak suka dengan situasi yang dihadapi. Kenapa bertindak sewenang-wenang menghancurkan harapan penumpang? Alyesha yakin, meskipun tidak setiap orang dalam Boeing 747 itu akan nonton konser Blue, bukan berarti mereka setuju dengan perubahan mendadak ini. Tapi Alyesha heran, mengapa tak seorang pun protes? Padahal biasanya, penumpang yang merasa dirinya raja bisa menuntut apa pun sepanjang itu menjadi haknya. Alyesha, entah yang lain, berhak mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dengan roda pesawat menyentuh lembut aspal landasan. Kemudian disongsong lorong 'belalai gajah', menuju ruang kedatangan. Di sana dia akan beriring-iring dengan penumpang lain, tapi tidak akan mengambil bagasi, karena semua bekal tersimpan dalam kopor kecil yang mudah ditenteng. Tapi tampaknya harapan itu berhenti di sini.

Dipandangnya pramugari yang mengumumkan ada ketidakberesan pada mesin pesawat. Alyesha merutuk: apakah perempuan cantik dengan tangan gemulai dan seragam anggun itu mengerti perihal mesin pesawat? Meskipun mungkin sudah sekian tahun menjadi pramugari, dan sebelum resmi diterima bekerja telah memperoleh semacam product-knowledge mengenai pesawat terbang; Alyesha tak yakin pramugari itu cukup cerdik perihal teknik. Cobalah diuji dengan pertanyaan sederhana. Sanggupkah ia menjawab soal: kenapa gigi satu pada sepeda balap lebih ringan dikayuh daripada gigi empat, sedangkan kecepatan yang dihasilkan merupakan komposisi sebaliknya? Cepat jawab! Ah, mestinya si cantik dengan uniform bercorak kuning emas di atas latar indigo itu tidak perlu mengajari cara menggunakan masker dan alat pelampung, karena menjelang tinggal landas tadi sudah diperagakan.

Pramugari itu sebenarnya lebih diharapkan untuk segera membagi makanan. Tapi justru sibuk dengan urusan emergency dan sesekali memamerkan wajah pucatnya. Alyesha semakin sebal, karena dia minta minum tidak digubris. Dia berjanji terhadap diri sendiri: nanti, di saat duduk tenang menghadap panggung tempat Blue beraksi, aku akan minum es krim sepuas-puasnya! Hmm, ia menelan ludah membayangkan tutti-frutti yang leleh ke sela jemarinya.

Disumpal perasaan kesal, Alyesha mengalihkan rasa hausnya dengan membaca katalog barang yang dijual sepanjang penerbangan. Boro-boro pramugari itu menjelaskan ukuran souvenir yang tertera dalam katalog, sekadar minta minum pun tidak dilayani. Alyesha memandang marah kepada pramugari yang menjelaskan bahwa mereka akan mendarat secara darurat. Kenapa harus repot-repot? Bukankah banyak bandara terbuka? Dan yang penting, pilot segera memberitahu kepada petugas menara perihal rencananya itu. Bukankah jadwal berangkat mereka tepat waktu? Ketinggian 33.000 kaki pun sudah biasa untuk sebuah boeing, dan satu jam perjalanan adalah rute yang umum. Alyesha jadi bingung dengan pilot yang tidak memenuhi janji.

Dari tempatnya telentang, Alyesha masih mengingat suara yang didengarnya. Seperti jutaan piring yang dibanting bersama-sama oleh tangan raksasa ke lantai marmer. Atau gergaji yang dipaksa mengiris logam tebal, sehingga tampak semburan api di antara derit yang menyilet telinga. Andai terjadi malam hari, percik kembang api yang memancar ke langit tentu sangat menarik. Tapi itulah yang terakhir didengar dan disaksikan Alyesha, karena tiba-tiba seseorang mencengkeram tangannya dengan lekas. Ia menerobos sela-sela penumpang, mengikuti tarikan tangan itu, seperti seseorang yang main curang menyerobot antrian. Ah, rupanya konser Blue banyak peminat! Ia bahkan lupa pamit kepada tetangga-duduknya. Ini saatnya aku mendapat nomor kursi terbaik, bukan berdiri di lantai festival!

Alyesha terus menyelip di antara puluhan tubuh yang demikian licin, sehingga memudahkannya bergerak. Sungguh lihai seseorang yang menarik tangannya, keluar dari tengah-tengah kerumunan. Lorong yang dilalui berakhir pada sebuah pintu (tapi bukan ruang kedatangan). Punggungnya didorong oleh seseorang yang tadi menarik tangannya, masuk ke sebuah ruang. Pintu tertutup di belakangnya sebelum dia mendapatkan nama yang serasi bagi ruangan itu. Ada yang terlampau menarik bagi Alyesha: sebuah ranjang yang tak jelas berapa jumlah kakinya, namun terletak kukuh di lantai. Ia pun naik ke atas kasur (jika boleh disebut demikian), dan berbaring. Alyesha merasa dirinya aman. Kakinya letih. Otot paha dan betisnya sempat menegang oleh gerakan kencang melepaskan diri dari rimbun manusia. Kini perasaan gusar telah bertukar tenteram.

Mata Alyesha mengitari ruangan. Ia melihat langit-langit putih, bagai diterangi lampu, menyala rata, namun tidak membuat matanya menyipit. Ia mencari garis pertemuan antara bidang horisontal dengan bidang vertikal: langit-langit dan dinding. Namun tidak tampak, seolah ruangan itu lengkung, meskipun terasa bujur sangkar. Alyesha berpikir, di mana sebenarnya ia berada? Sekali lagi ia menggunakan telinganya untuk mendengar, agar dapat menebak nama tempat ia berbaring. Tapi tak ada suara, termasuk degup jantungnya.

Siapa yang membawaku ke ruangan ini? la memandang pergelangan tangan yang tadi digenggam oleh seseorang. Lelaki atau perempuan? Tangan berjemari lembut, menyerupai gumpalan gajih, namun sanggup menggenggam kuat seperti tanggam besi. Alyesha membayangkan kembali, ketika ia diseret. Bagai terbang. Kakinya melangkah tapi tak menginjak bumi. Entah mana yang harus lebih dipercaya antara melangkah cepat dan terbang. Ia baru saja menjadi seekor kucing yang giras, melompati kursi-kursi penumpang, melampaui kepala orang-orang, dan sebagian yang tubuhnya tersentuh tidak membuat letak mereka berubah.

Alyesha mengeluh. Ia merasa diperdaya. Buat apa aku menunggu di sini? Menunggu siapa? Kau pasti bukan Simon, karena aku yakin tubuhmu putih. Tapi juga bukan Ant atau Dunk! Aku datang ke negeri bahari ini untuk menyaksikan konser Blue. Bukan untuk menjadi pesakitan semacam ini!

Mendadak Alyesha teringat sesuatu: ketika ia masih berumur sembilan tahun.

Ini hari kedua, bagi mata nyalang Alyesha. Anak perempuan berusia sembilan tahun itu tak mau tidur. Ia masih bersedia menunggu jawaban untuk setiap pertanyaan yang membuatnya tetap terjaga. Ia hanya ingin tahu: mengapa di tikungan itu, hampir dua ratus meter dari apartemen, seseorans menarik tanganku ke arah jalan raya? Tarikannya begitu cermat antara membujuk dan memaksa, membuatnya melayang. Sepatu roda di kakinya meluncur di atas angin (karena tak ada guncangan pada tekstur kasar aspal) dengan kecepatan yang belum pernah ditempuhnya.

Seseorang itu hanya tampak rambutnya. Setengah panjang (maksudnya: sebagian menyentuh bahu), berwarna kemerahan, berujung ikal. Seperti seseorang yang rajin membuat rol sehabis mandi, membiarkannya lama, dan menguraikannya ketika yakin rambut itu tidak kembali lurus. Bodohnya Alyesha, kenapa tidak memanggil seseorang itu dengan sesuatu? Sebutlah nama temannya yang mirip perawakannya, karena siapa tahu dia sengaja menyamar dengan mengenakan rambut palsu. Tapi Alyesha, sore itu, tersihir untuk mengikuti tarikan tangan yang begitu menakjubkan.

Apa boleh buat. Jalan beton di depan apartemen, hampir setiap sore menjadi arena bermain sepatu roda. Alyesha menjadi salah seorang dari sebelas yang lain, lelaki dan perempuan, membungkuk saling mengayuh kaki dan meluncur tegak setelah mendapat kecepatan yang diinginkan. Dengan empat roda dalam satu lajur di bawah telapak kakinya, mereka bagai membuat garis panjang, serupa mata bajak yang dihela sepasang lembu, membenam pada tanah lumpur. Putaran demi putaran. Berhias tawa riang, memecah senja. Mengalahkan kicau burung yang bertemperasan memasuki lubang jendela tinggi gedung-gedung, mengakui itu sebagai sarang mereka.

Mereka berlomba. Dengan garis start dan finish yang buat berdasarkan kesepakatan. Begitu riuh, melaju di antara pejalan kaki, rambut mereka berkibaran. Peluh yang menetes jatuh meresap ke pori beton, mengeras bersama semen, menjadikannya serbuk kalium di antara butiran pasir yang sewaktu-waktu diterbangkan angin. Tapi Singapura benci debu dan sampah. Abu rokok pun terletak tertib di tempat yang disediakan. Bahkan orang tidak boleh meludah sembarangan. Alyesha tentu tak berbuat hal-hal yang dilarang. Sebagai kanak-kanak ia cukup tenggelam dalam kegembiraan bermain sepatu roda, dengan sebagian helai rambut melekat oleh keringat di pelipis dan sebagian pipi. Wajahnya merah oleh panas yang menjalar ke seluruh tubuh.

Menurut ingatannya, ia bersorak penuh semangat sewaktu meninggalkan kawan-kawannya jauh di belakang. Staminanya yang tangguh membuat Alyesha selalu menjadi juara setiap sore. Memang tidak ada hadiah kecuali kekaguman dari orang tua yang kebetulan menonton sambil duduk di taman.

Saat itulah seseorang menarik tangannya. Mengajak ke arah lain. Tentu ada suara yang memperingatkan, namun pesona seseorang yang menarik tangannya mengalahkan seruan di belakangnya. Entahlah, apa yang menurut orang lain terjadi. Alyesha hanya mendengar cericit ribuan tikus, lalu disusul bau gosong. Tapi ia abai, lantaran tidak sedang berada di dapur. Ia pun melihat warna merah memenuhi matanya. Tanpa terperanjat, apalagi takut, karena itu warna favoritnya.

Alyesha melayang jauh dengan sepatu roda yang meluncur di atas angin. Wah, bagaimana mungkin teman-teman mampu mengejarku? Saat itu Alvesha ingin melambai, dengan setengah mengejek kepada mereka yang berada jauh di belakangnya. Setidaknya ingin ia pamerkan kemampuannya terbang dengan sepatu roda. Meskipun sesudahnya menyesal, karena ia tak pernah menyukai perpisahan.

Matanya tampak sedih ketika kehilangan seseorang yang menariknya. Ia merasa menabrak pohon, pegangan itu terlepas, dan jatuh telentang di atas rumput hijau yang lembut seperti hamparan permadani. Berbeda dengan yang selalu dilihatnya dari jendela apartemen: matahari terbit dari gerumbul gedung-gedung. Kini dia memandang bola surya berendam di rawa hijau sebelum bangkit dan beringsut meniti dinding langit. Alyesha, sembilan tahun saat itu, sudah sering membuka gambar peta bumi. Lalu dia mengira telah berada di Indonesia. Negeri yang agraris, dengan pesawahan berundak, hijau melela seluruh pandangan mata, sementara air mengalir dalam sistem subak, tak henti-henti menyuburkan benih padi yang tumbuh seperti ilalang. Samar-samar terngiang suara mendayu, seseorang memuja Hyang Widhi. Samar-samar terhirup wangi setanggi, dan kelopak kemboja yang gugur sebelum waktu.

Siapa membawaku ke kebun ini? Alyesha mencari-cari seseorang yang telah membuatnya terpedaya dan pergi jauh dari rumahnya. Matanya berputar, merambah setiap ceruk dan relung, mengamati gerak paling halus dari ayunan daun, menatap tebaran awan yang melayang di atas kepalanya. Ayo, jangan sembunyi!

Alyesha mulai sedih oleh kesepian yang menyergap. Seperti inikah rasanya menjadi pemenang? Terasing sebagai juara, tak terjangkau teman-temannya. Lalu Alyesha menajamkan telinga, untuk menangkap suara tawa riang mereka. Tapi tak ada suara, termasuk degup jantungnya. Ayo, jangan sembunyi! Bukankah Alyesha yang lari sembunyi dari kejaran ka kawannya?

Berlarut-larut Alyesha terbaring di atas lapisan rumput tebal. Ia memandang langit yang kemilau, entah oleh matahari atau pantulan warna danau di seberang dataran tempatnya telentang. la pun merasa, seseorang sedang bermain-main di angkasa. Mengubah bentuk mega menjadi segala sesuatu yang dipikirkannya. Ketika benaknya berharap ada seekor naga dengan mulut menganga. gumpalan awan itu membentuk naga raksasa sesuai harapannya. Saat ia membayangkan beberapa ekor bangau terbang melintasi benua, matanya segera melihat awan-awan itu memecah menjadi beberapa bagian dan berangsur berubah menjadi burung-burung pembawa bayi.

Tapi aku tidak melihat orok dalam ayunan kain yang tergantung pada paruh kalian. Tentu, karena dia tidak memintanya, Apakah akan selalu terpenuhi permohonannya? Seperti seorang Aladin meminta kepada jin yang bersemayam pada sang lampu? Lantas ia pun teringat dongeng Cinderella, Jadikan awan-gemawan itu menjadi sebuah kereta dengan sepasang kuda yang gagah! Tapi sungguh aneh, yang terjadi adalah bentuk mega seperti burung raksasa menggendong seorang perempuan cantik. Alyesha tak pernah mendengar kisah Jatayu yang menyelamatkan Dewi Shinta. Maka ia hanya merutuk: sungguh tak bisa dipercaya, selalu mempermainkan aku!

“Ayo, jangan sembunyi! Siapakah kamu?”

Suaranya hanya menghasilkan pema. Bersipongang panjang seperti gelombang longitudinal, Melingkar-lingkar, merambah lembah. Dan dia tetap saja sendiri, di tengah panorama yang nyaris serba hijau itu. Ditemani batang-batang pohon yang berjajar rapi, menjauh ke arah bukit.

“Kalau begitu, kembalikan aku kepada teman-temanku!”

Kembali suaranya hanya disambut udara lengang. Alyesha tak mendegar apa pun (angin, kerisik, bisik, dengung, letup, desau, debur, dendang), termasuk detak jantungnya. Agak curiga, dirabanya dada kiri. Mulai tumbuh puting pada ujung payudaranya. Tapi sesungguhnya bukan itu yang hendak dijamahnya. Ia hanya ingin meyakinkan diri, adakah jantungnya masih bersemayam di sana?

Baik dari guru maupun ibunya, dia tahu bahwa letak jantung ada di rongga dada kiri. Kini Alyesha agak terperanjat, karena tak ada gerakan apa pun di balik baju. Bahkan ketika menarik nafas dalam-dalam, sewaktu dadanya berkembang oleh udara yang terhimpun, degup itu lenyap. Perlahan perasaan cemas muncul, seperti denyar halus yang mengganggu. Dengan pengalamannya yang masih serba sedikit, ia tahu: saat kekhawatiran atau ketakutan datang menghampiri, selalu terasa debur yang kuat di rongga kiri. Tapi kali ini, cemas itu menyusup tanpa tanda-tanda ѕереrti umumnуа,

“Ibu, aku takut...” bisik Alyesha.

Tapi di sini tak ada gelap yang membuatnya gemetar. Tidak ada binatang buas yang mengancamnya. Tidak ada makhluk raksasa yang sering menjadi tokoh jahat pada dongeng-dongeng. Rasa-rasanya, kesendirian pun bukan berarti kesepian. Matanya masih melihat warna hijau, langit Jernih, gumpalan awan yang terus berubah. Takut bukanlah sebuah sikap yang tepat. Mungkin marah akan lebih baik.

Siapa pun kamu, kalau kutahu ada di dekatku, akan kupukul tanpa pikir panjang! Tangan Alyesha mengepal. Ia masih telentang, dengan raut muka geram. Dan siapa pun dia, yang mengetahui wajah marah Alyesha, justru akan jatuh hati. Karena bulu alis matanya yang tebal seolah bangkit berdiri. Matanya yang bundar memancarkan cahaya, dan pipinya meranum buah jambu. Dalam waktu singkat, paras Alyesha menjelma sangat menarik.

Saat itulah seorang yang tadi mencekal tangannya, datang. Ia bagai dilepas busur cahaya, tahu-tahu berdiri di depannya. Kakinya seperti terbuat dari porselin, begitu dekat dengan tubuhnya. Kaki yang tidak mirip kaki teman-temannya. Lelaki atau perempuankah kamu? Tapi bukan berarti marahku hilang. Aku hanya takjub dengan kecepatanmu menghampiriku.

Seseorang itu melipat kaki, merunduk, merendahkan tubuhnya. Seseorang itu hendak menyentuh pipinya. Kini tampak jelas bagi sepasang mata Alyesha: wajah seseorang itu. Ya. Seketika Alyesha terkenang, sebuah peristiwa ketika ia masih berusia lima tahun!

Hampir sepanjang hari mata Alyesha tetap terbuka. Bocah perempuan berumur lima tahun itu tak tidur. Ia belum bisa berpikir secara matematis dan overlapping tapi giginya telah tumbuh genap dan rapi. Putih mungil berbaris mirip biji mentimun. Senyumnya menawan ketika diajak berjalan-jalan keliling taman. Membuat para tetangga gemas ingin mencubit pipinya. Mereka sengaja memamerkan pudel yang dituntunnya, agar Alyesha dekat, dan akan berhasil dicubitnya wajah kemerah-merahan itu.

Alyesha telah memiliki enam belas buah boneka. Semua diberi nama, meskipun ia kadang-kadang susah mengejanya. Mereka diletakkan di dalam keranjang dekat tempat tidurnya, sebagian menghuni lemari kaca karena menggunakan mesin elektronik. Sebelas di antaranya merupakan hadiah dari ayah dan ibunya. Lima lainnya pemberian teman Alyesha setiap dia merayakan ulang tahun.

Apel dan anggur merupakan buah kesukaannya. Ia bisa menolak makanan lain sepanjang terhidang sepiring apel dan anggur. Malam itu, ia tak pernah berkhayal menjadi Puteri Salju yang disembunyikan di dalam hutan, yang membuat seorang nenek sihir (ibu tiri yang mengelabui) menawarinya sebutir apel. Tidak! Ia justru mengenal persis, siapa yang telah memberi apel kepadanya. Dia salah seorang bibinya (dan namanya bukan Petronella) yang lama tinggal di Indonesia. Dia berkunjung ke Singapura dan berencana menginap di apartemen orang tua Alyesha. Menurut Pikirannya yang sederhana, apel itu adalah sejenis apel yang acap dibeli dari supermarket terdekat.

Baru saja Alyesha mengunyah habis sebutir apel berwarna marun—di bawah tatapan berpasang mata karena ia begitu menggemaskan—seseorang mengajaknya turun dari meja makan. Ia suka berlari-lari di Kindergarten, namun tarikan tangan seseorang itu membuat tubuhnya bagai melayang. Alangkah gembiranya ia mengayun kaki seperti bersepeda di atas angin, dan tahu-tahu telah melampaui ruang tamu, tangga turun bertingkat-tingkat, beranda, taman dan jalan raya. Ia lupa pamit kepada ibunya yang tadi duduk di depannya. Ia lupa pamit ayahnya yang menyuruhnya makan pelan-pelan. Dan ia lupa mengucapkan terima kasih kepada bibinya yang telah memberinya apel segar. Yang jelas, ia pergi meninggalkan mereka dan kini berada di ladang penuh cahaya bintang.

Apakah mereka benar-benar gemintang, yang bergerak menyala seolah berasal dari lemparan api jarak jauh? Pesona letupan cahaya dengan suara samar itu, membuat Alyesha lupa kepada seseorang yang menyeretnya ke tempat ini. Ia mencoba berjalan ke dataran di depannya yang melengkung. Pelajarannya tentang luas bumi belum sampai pada pengertian yang sempurna, tapi ia merasakan tanah di seberang pandangan melengkung ke bawah. Dan ia penasaran untuk melihat: ada apa di bawah sana? Tapi tak kunjung sampai. Ia laksana berjalan di atas bola raksasa yang menggelinding. Padahal ia ingin tahu: siapakah yang memutar kincir api di lembah sana? Bola-bola berpijar itu berlompatan dari kerendahan yang tak terjangkau matanya, melayang ke langit, dan bergabung dengan percik cahaya lain, yang mungkin dilempar lebih awal oleh seseorang di dasar ngarai. Langit nyaris hitam pekat, sehingga butir-butir dengan kerjap sinar berkilauan itu memenuhi hamparan lazuardi seperti manik-manik emas.

Di manakah aku? Alyesha tidak terlampau kecil untuk diajak ke planetarium. Kepala mungilnya masih menyimpan memori tentang jagat raya. Dengan bahasa yang masih belum lengkap, ia bertanya kepada ayahnya, apakah Venus dan Mercurius kakak beradik? Apakah Mars termasuk planet pemberang, sehingga raut mukanya selalu merah padam? Apakah Saturnus suka menari dengan gelang kabut berputar di sekeliling perutnya? Alangkah letih sepanjang waktu meliuk-liukkan pinggul di pentas alam raya..

Alyesha mulai mencari seseorang yang mengajaknya ke tanah luas ini. Ia ingin banyak bertanya, seputar isi langit vang ditatapnya. Perjalanan dari meja makan ke tempat terbuka ini tak hendak diingat dan dipersoalkan. Lampu kristal di ruang makan, yang menyebarkan sinar temaram ke seluruh permukaan benda, lukisan besar di dinding, dan hiasan batu onix di sisi lemari es, tidak mampu mengalahkan gemerlap bintang di langit, di atas kepalanya saat ini. Gemerincing batang-batang kristal yang beradu oleh tiupan angin, tidak membuatnya tergoda dan ingin kembali. Di mana kamu?

Beringsut maju, dan beringsut, seraya menatap arah datangnya benda-benda berpijar, membuat ia semakin jauh. Tapi tak sungguh-sungguh jauh. Tiada pedoman apa pun yang cukup beralasan untuk menyebut langkahnya menjauh dari sesuatu. Dataran yang dipijaknya tetap sama, sulit ditandai perbedaannya. Karena tak ada jejak apa pun yang ditinggalkan. Kenapa tetap di sini?

“Ibu... Ibu...!” Alyesha melonjak-lonjak gembira. Ia memanggil-manggil ibunya, ingin menunjukkan segala yang dilihatnya.

Tak lama setelah ia berlari-lari dengan jatuh-bangun (meski tanpa luka segores pun pada lutut dan jemari kakinya), bintang-bintang di atas kepalanya bertabrakan. Mirip petasan pada perayaan hari besar Cina yang pernah dilihat Alyesha, memercik bunga-bunga api segala arah. Alyesha terpesona, memandang ke langit dengan mulut ternganga. Mengapa kalian saling beradu? Aduh, yang itu hancur! Berhenti! Berhenti! Aku tidak mau melihat kalian bertengkar! Cahaya saling terlempar, menyambar ke sana ke mari. Ribuan butir benda terang, yang semula berpusaran dengan tenang, berkali-kali ditumbuk bola api yang meluncur seperti kilat. Lalu pecah berhamburan.

Oleh rasa gentar, Alyesha mencari tempat yang aman. Detas yang jauh menandai gemintang itu dilanggar bola api yang dilempar dari arah lembah. Mainan apakah ini? Milik siapa? Alyesha jatuh terduduk karena berjalan terburu-buru. Ia memanggil-manggil seseorang yang membawanya ke tempat ini. Tak tahu nama yang harus disebut, karena tidak pernah kenal sebelumnya. Kakak, di mana kamu? Mungkin itu panggilan yang paling tepat. Ia juga memanggil-manggil ibunya. Sampai letih sendiri. Dan akhirnya Alyesha berbaring. Matanya menatap tegak lurus ke puncak langit. Dua puluh tiga jam berlalu, mata Alyesha penuh tanda tanya, tak mau terpejam. Memandang perang bintang di latar hitam. Semburat keping cahaya, memberi tilas berpendar, tak habis-habis.

Yang masih teringat sebelum seseorang mengajaknya melayang dari ruang makan, adalah gigitan terakhir apel di bibirnya. Seperti ada sepasang lebah yang terjebak dalam mulutnya dan menyengat pangkal lidah tenggorokan. Alyesha ingin batuk. Ingin disemburkannya serpih kunyahan apel, menciptakan hujan ke atas meja makan. Tapi, apakah harapannya itu terpenuhi atau tidak, seseorang lebih dulu membawanya kabur dari ruangan.

Sesaat sebelum meninggalkan ayah, ibu, dan bibinya, Alyesha mendengar ada yang bertengkar. Suara paling keras terbit dari mulut ibunya. Mengandung nada marah. Mata ibunya menghunjam bengis ke wajah bibinya (yang namanya bukan Petronella). Seketika, ayah memegang tangannya. Benarkah itu tangan ayah? Tak mungkin ayah menggandengku jauh-jauh kemari, sedangkan makan malam belum berakhir. Pasti kamu! Kamu yang menarikku ke tempat ini!

“Siapakah kamu? Tunjukkan wajahmu!” tantang Alyesha. Mengatasi bunyi remuk redam di angkasa.

“Benarkah kamu ingin melihatku?” Jawaban itu membuat Alyesha memutar kepala. Mencari sumber getaran. Bersamaan dengan itu, seluruh isi langit padam. Suara pun reda. Ke mana jutaan bintang itu menghilang?

“Di mana kamu? Uf!” Alyesha terpekik. Ciuman basah mendarat di pipinya. “Jangan nakal!'

“Benarkah kamu ingin melihatku?” Pertanyaan itu menggoda Alyesha di telinga. Secara refleks, tangannya menampar, namun yang terasa pedas justru pipinya.

“Aku akan lapor ibuku! Kamu nakal! Aku mau pulang!”

“Jangan pulang, Alyesha. Tidurlah di sini.”

“Aku tak mau tidur sebelum kulihat kamu!”

Tangan mungil Alyesha kalap meninju ke segala arah. Di satu sudut, kepalannya mengenai sesuatu tubuh. Ia pun melompat dan menerkamnya hingga jatuh bergulingan. Alyesha meremas gemas rambut di kepala seseorang itu. Ikal, mirip rambut boneka.

“Menyerahlah!” ancam Alyesha. "Kalau tidak, rambutmu kutarik sampai rontok!”

“Aku mau menyerah asalkan kamu tetap tinggal di sini.”

“Tidak mau! Aku mau pulang. Aku takut di sini.” Alyesha menolak. "Menyerah atau tidak?”

“Baiklah aku menyerah.” Sekalipun umur Alyesha lima tahun, ia tahu, seseorang itu sengaja mengalah.

“Sekarang antarkan aku pulang!” Perintah Alyesha.

“Ssst, jangan keras-keras! Aku akan segera antarkan kamu.”

Mulut Alyesha mengatup, seperti ketika ibu guru memintanya diam. Lantas sayup terdengar suara seseorang menyanyi. Tersimak bening oleh telinga Alyesha karena tak ada lagi hibuk di langit raya.

    Lonestar where are you out tonight?
    This feeling I'm trying to fight
    It's dark and I think that I would give anything
    For you to shine down on me...

Alyesha memandang ke bentang lazuardi: tak sesuatu pun di sana. Ia merasa senandung itu mengalir dari payung malam. Tangannya perlahan diseret menuju suatu arah. Ada kesepian terhembus dari lagu itu. Mungkin mewakili kesepian seseorang itu, juga kesepian Alyesha...

    How far you are I just don't know
    The distance I'm willing to go
    I pick up a stone that I cast to the sky
    Hoping for some kind of sign....

Nyanyi lembut itu membawa Alyesha melangkah jauh. Langkah yang semakin tidak diingat ujungnya. Alyesha merasa seperti terjaga dari mimpi. Ia melihat satu per satu wajah yang mengelilingi. Ibu, ayah, dan bibinya. Juga anak tetangga apartemennya, temannya bermain, temannya di Kindergarten.

“Ke mana dia?” Mata Alyesha menyapu ruangan. Selang infus yang menjulur dan mematuk punggung tangan kanan membuatnya terpekik. "Apa ini?”

“Ini di rumah sakit. Siapa yang kamu cari, Alyesha?” Ibunya memandang gembira, kecemasan rontok seperti daun kering dihempas musim gugur.

Kini Alyesha memejam. Setelah lebih dari dua puluh tiga jam terjaga, menyusuri ingatan sebelum menyaksikan pesta kejora, ia ingin tidur. Dalam usia lima tahun, Alyesha mulai ingin berahasia terhadap ibunya.

Telinganya mendengar ayahnya bicara: "Biarkan dia tidur. Akan kupanggil dokter, memberi tahu bahwa dia sudah sadar dari coma.”

Coma? Apa maksudmu, Ayah? Alyesha merasa dirinya dipeluk. Mungkin oleh ibunya. Mungkin oleh seseorang yang membawanya pergi dari ruang makan. Apakah... apakah aku bisa kembali ke arena pesta perang bintang?

Diam-diam, doa menjelang tidur Alyesha berubah. Bukan semata ingin diselamatkan sepanjang malam dan dijaga dari mimpi buruk. Bukan sekadar berharap ditemani senandung peri yang lembut, dan sanggup bangun pagi dengan tubuh bugar. Kini ada keinginan lain, yang tak hendak disampaikan kepada ibunya. Ia mengharap keajaiban: kapan seseorang yang pernah membawanya melayang dari ruang makan malam itu, kembali mengajaknya pergi? Diam-diam, ia pun menginginkan apel dari bibinya (meskipun setiap bibi datang, ibunya tidak mempertemukan mereka).

Tahun demi tahun melesat. Alyesha belajar sepatu roda. karena anak-anak penghuni apartemen mengisi sore mereka dengan kegiatan itu. Berbeda dengan mereka, Alyesha lebih lekas mahir. Tubuh lenturnya membantu setiap gerakan yang dikehendaki. Otak-kecilnya memadai untuk ketrampilan keseimbangan. Energinya tak habis memancar, sehingga sanggup menempuh lebih banyak putaran dibanding yang lain.

Itulah yang terkenang. Menggenang hangat. Dan kini, ia memperoleh kesempatan yang pernah diharap-harapkan sejak usia lima tahun. Seseorang itu menjemputnya pada senja hari, ketika Alyesha berumur sembilan tahun. Dan seperti biasa: Alyesha tak mau tidur, karena rasa ingin tahu yang kelewat mendesak.

Tubuh Alyesha beringsut. Bagaimanapun ia perempuan. Ia merasa malu disentuh atau dicium sembarang orang. Apalagi, seseorang yang mendekatinya belum jelas jenis kelaminnya. Apakah ia memiliki batang penis, seperti yang pernah dilihat dari majalah koleksi ibunya? Atau seseorang itu memiliki vagina seperti dirinya?

Wajah itu kini persis di depan matanya. Tapi tak ada hembusan nafas menyapu. Siapakah kamu? Apakah kamu yang membawaku ke taman ini? Apa nama taman yang serba hijau dan jernih ini?

Di sini matahari tak tampak lagi sejak bangkit dari kubangan rawa, tapi alam benderang. Warna hijau daun, hijau tangkai, hijau dahan, hijau rumputan, kilau hijau butir embun, begitu jelas. Langit jernih biru kehijauan. Bukit-bukit dengan gerumbul pohon, pekat oleh warna hijau tua, dan samar kabut di kejauhan.

“Pandang aku,” ujar seseorang itu. Bibirnya indah. Alyesha teringat telenovela bilingual. Gerakan bibir dengan sulih suara. Berbeda antara gerakan dan ucapan. Tapi, bukankah ia mirip manusia? Segala sesuatunya sama dengan manusia!

“Siapakah kamu? Apakah kamu seorang laki-laki? Apakah kamu pemilik taman ini? Apa nama taman ini? Apa maksudmu mengajakku kemari? Kenapa aku lama kautinggal pergi? Kapan aku boleh pergi? ....”

Sstt... pertanyaanmu terlampau banyak, Alyesha. Sabarlah. Aku akan menjawab satu per satu. Dan kuminta, suaramu jangan keras-keras.”

Wajah Alyesha bersemu dadu. Boleh jadi, hati perempuan umur sembilan tahun telah dilengkapi selaput yang sensitif menerima rangsang perhatian. Tapi, aku tak ingin tertipu. Aku harus tahu lebih dulu: kamu laki-laki atau perempuan? Alyesha hendak bangkit dari posisi berbaring, tapi seluruh ototnya tak mau bergerak. Air matanya mengembang. Perasaannya gelisah. Seseorang itu begitu dekat dengan tubuhnya. Bulu-bulu pada lengan dan tengkuknya merasakan getaran. "Boleh aku duduk?”

“Duduklah!” Seketika Alyesha bisa bangun dan duduk dengan berdebar. Diam-diam, tanpa bermaksud menarik perhatian, ia meraba dada kirinya. Kecuali tonjolan puting pada payudara, ia tidak merasakan detak jantung. Sudah matikah aku?

“Kamu tidak mati, Alyesha. Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu, seandainya waktu kita cukup.”

Apa maksudmu dengan: seandainya waktu kita cukup? Alyesha menunggu.

“Aku punya nama, tapi kamu pasti akan lupa, karena begitu panjangnya. Aku tak ingin kamu mendapatkan kesulitan mengeja namaku. Aku punya jenis kelamin, oleh karena itu aku membawamu kemari. Aku tidak memilih teman laki-lakimu. Dan aku bukan pemilik taman. Taman Fairuz ini sudah ada bermilyar tahun sebelum aku diciptakan. Aku mengajakmu karena ingin bersahabat. Sejak kamu dilahirkan, aku ingin bisa dekat denganmu. Aku... aku kesepian, Alyesha.”

“Tapi, aku tidak mungkin berada di sini, tanpa apel, tanpa anggur, tanpa Ayah dan Ibu ...”

“Apel? Kamu tinggal menyebut apa yang kamu mau, Alyesha. Aku pernah mengajakmu ketika umurmu lima tahun, tapi kamu ketakutan. Sekarang pun kamu merasa takut.” Pengakuan itu terdengar menyedihkan ditelinga Alyesha. "Apakah aku perlu mengajak ayah dan ibumu? Juga teman-temanmu?”

Alyesha hampir mengangguk, tapi tercuri dari mata itu: cahaya muram. Ia mengurungkan niat. Alyesha memilih diam, karena tak mengerti apa yang dikehendaki. Apakah aku sedang berteman dengan makhluk sejenis Casper? Alyesha mulai memperhatikan gerai rambutnya, bentuk hidungnya, lancip dagunya, jenjang lehernya. Alyesha mulai menebak-nebak: terbuat dari apakah pakaianmu yang seolah ditenun dengan benang cahaya?

“Kalau semua ada di sini, kita tidak bisa berdua lagi, Alyesha.” Ucapannya membuat hati Alyesha bergetar. Seolah ada air terjun dalam rongga dadanya, berdebur-debur memukul batu.

Alyesha pun harus memutuskan sikap. Memberanikan diri menyentuh lengannya. Seperti dibuat dari taring gading, tapi begitu lembut. Atau mungkin terbikin dari agar-agar? Namun sungguh kenyal. “Aku tak bisa menemanimu, karena tidak pamit orang tuaku. Mereka akan mencariku. Mereka akan sedih kehilangan anak tunggalnya.”

Alyesha melihat semacam air bening menetes dari sepasang matanya. Cair pada awalnya, tapi jatuh berdenting seperti kristal ketika menimpa kukunya. Alyesha mulai bimbang. Apalagi ketika memergoki badannya gemetar. Sayup-sayup telinga Alyesha mendengar suara langkah, bagai detak jantung. Untuk kesekian kali Alyesha meraba dada kirinya. Tak ada getaran apa pun.

“Baiklah, Alyesha, sebaiknya kamu kuantar pulang.” Kini justru Alyesha yang tidak siap menerima keputusan itu.

“Apakah kamu akan sendirian?” Ia memberanikan diri bertanya. Rambut ikal kemerahan itu bergoyang, "Atau kamu mau tinggal di rumahku?”

Ia menggeleng sebelum meraih tangan Alyesha. Seperti menghindar dari sesuatu. Gerakannya sulit diikuti, tapi Alyesha merasa dirinya berjalan sangat cepat ke suatu arah. Ia pernah naik kereta api, ketika diajak orang tuanya mengunjungi Eropa. Dalam ingatannya, batang-batang pohon dan panorama di sisi jendela terseret demikian cepat. Seperti itu yang dirasakan. Memang tiada angin, tapi Alyesha takut membuka mata. Setiap benda kehijauan di depannya siap menabrak tubuhnya.

Alyesha tak ingat lagi peristiwa selanjutnya, karena yang didengar adalah tangis ibunya di kamar sunyi. Ia membuka mata, melihat jam di dinding, Pukul 2.15 pagi. Tangannya yang lemah mencoba bergerak, menyentuh bahu ibunya yang terguncang di sisi ranjang.

“Alyesha” Ibunya memekik girang "Kamu sadar?”

Pipinya diserbu ciuman. Alyesha hanya memandang, tak sepenuhnya memahami. Juga terhadap kaki kanannya yang digantung dalam bebatan putih tebal. Kenapa kakiku? Perlahan ia memutar peristiwa dalam kepalanya. Rasanya, di waktu lalu, ia meluncur di atas sepatu roda terlampau cepat, Melewati batas trotoar, menyeberangi jalan, dan sesuatu (tidak jelas bentuknya) melanggar tubuhnya. Ia mendengar bunyi rem yang mendecit mirip cericit ribuan tikus. Bau gosong menyergap hidung. Ia juga melihat genangan warna merah sebelum seseorang membawanya kabur dari tempatnya bermain.

Menurut orang tuanya, kemudian, ia ditabrak sebuah mobil. Selain kaki, kepalanya juga gegar oleh gempuran keras. Di mata orang tuanya, ia coma dua hari!

Dua bulan dia menderita dan harus rajin fisioterapi. Setelah bisa berjalan dengan normal, Alyesha mula membayangkan seseorang yang pernah mengajaknya pergi. Ia tak ingin bercerita kepada siapa pun, namun hatinya terasa penuh. Buku hariannya mulai menampung tumpahan perasaan. Diam-diam Alyesha kehilangan seseorang yang mengaku namanya demikian panjang. Mungkin ia tak akan berhasil mengingat nama panjang itu, tetapi sanggup mengingat wajahnya, mengingat gerakan bibirnya yang berbeda dengan suara-bahasa yang diterbitkan.

Alyesha membayangkan, seseorang itu adalah pujangga yang pintar menulis syair-syair panjang. Setiap buku puisi yang dibacanya seolah-olah diilhami oleh seseorang itu. Termasuk Kahlil Gibran. Kadang-kadang ia pun membayangkannya sebagai penyanyi (karena masih terngiang lagu lembut yang mengalun dari payung malam). Ditulisnya lirik lagu yang pernah didengarnya pada usia lima tahun, dan senantiasa lekat dalam ingatan. ... Lonestar, where are you out tonight... Lalu ia membayangkan pula bahwa seseorang itu mampu membelah diri, menjadi beberapa orang. Sebagian menyerupai para bintang pujaannya. Sebagian lagi menghuni tubuh-tubuh bonekanya.

Di kamar sunyi, seiring usianya beranjak, Alyesha menulis sebuah nama yang mungkin mudah diingat pada buku hariannya: Alfabet. Tokoh itu diharapkan mewakili seseorang yang pintar mengubah awan menjadi segala bentuk sesuai keinginannya. Yang mempertunjukkan pesta gemerlap bintang dengan atraksi menawan. Yang sanggup membuatnya berbaring tenteram di taman dalam gelimang warna hijau. Yang... yang mencium pipinya dengan mulut basah!

Pada usia tiga belas, Alyesha sudah diijinkan melakukan perjalanan sendiri. Setelah tak ada harapan bertemu Alfabet yang satu, ia mulai mengangankan bisa berjumpa dengan Alfabet yang membelah diri sebagai Anthony, Duncan, Lee dan Simon. Atau siapa pun dia, yang memikat hati.

Pintu serba putih yang tidak tampak garis batasnya dengan dinding itu terbuka. Di ambang yang terbentang, hadir seseorang yang pernah menjemputnya ketika ia berusia lima tahun dan sembilan tahun.

“Apakah kamu malaikat?” tanya Alyesha tak sabar.

“Bukan. Aku tidak sesuci mereka. Aku masih punya nafsu, dan aku tak bisa menahan diri untuk melakukan sesuatu yang dilarang.”

“Lantas siapakah kamu?”

“Namaku panjang sekali, kamu tak akan mampu mengingatnya.”

Alyesha bimbang. Selalu saja alasannya begitu. Yang kumaksud adalah, makhluk apakah kamu? Alyesha bimbang. Segala dirimu mirip manusia. Apakah kamu diciptakan dari cahaya atau api? Alyesha bimbang, melihat ketampanan yang lembut. Tapi yang membuatnya tidak setuju adalah, kenapa dia berambut ikal kemerahan?

“Aku ingin bisa memanggilmu.”

“Sebut saja Dunk!”

“Tidak mungkin. Kamu tidak mirip Duncan.”

Alyesha seperti diingatkan kembali, bahwa ia hendak menyaksikan konser Blue. Bisa jadi ia telah terlambat. Sekarang hari apa?

“Panggil saja aku Ant!”

“Kamu jangan menggodaku! Kamu bukan seperti Anthony.”

“Aku hanya ingin mendengar suaramu.”

Alyesha kembali bimbang. Bercakap-cakap dengan seseorang yang tak punya nama, hanya membuang waktu. Padahal, setelah sekian hari tak mau tidur, ia tak ingin menuai kekecewaan baru. Ia menunggu kesempatan ini, sejak usia sembilan tahun.

Jadi siapa sebenarnya kamu? Kenapa selalu mengaku kesepian?

“Terserah kamu saja. Aku akan suka apa pun panggilan yang kauberikan.”

Alyesha bimbang. Matanya mengerjap. Tapi warna dan bentuk di sekelilingnya tidak berubah. Dan ia memang bukan pesulap. Di tangannya tak ada sebatang tongkat ramping berkepala bintang yang meninggalkan ekor cahaya, memendar setiap bergerak atau diayunkan di udara.

“Baiklah, kupanggil kamu Alfonso!”

“Apakah itu memiliki arti?”

“Tentu, tapi aku tak ingin membahas. Aku hanya ingin bisa memanggilmu.”

“Apakah untuk bercakap-cakap diperlukan nama? Kita hanya berdua. Tidak mungkin keliru dengan yang lain.”

“Mungkin kamu memang pintar. Tapi aku perlu yakin apakah kita benar-benar hanya berdua?”

“Ya...”

Kembali Alyesha bimbang. Apa yang hendak diperbuat oleh sepasang makhluk tak sejenis di tempat sunyi? Dalam ruang serba putih, dan satu di antara mereka merasa kesepian? Apa yang hendak diperbuat oleh seorang Alyesha yang bertahun-tahun mengharap pertemuan ini? Buku hariannya penuh dengan nama Alfabet, dan sekarang dia menyebutnya sebagai Alfonso. Pemuda ini (jika boleh disebut demikian) pernah membawanya ke pesta raya gemintang dan taman serba hijau.

“Boleh aku menciummu, Alyesha?” Bibir seseorang yang diberi nama Alfonso sudah begitu dekat dengan wajah Alyesha.

Kini tiada sekat lagi antara mereka. Alyesha memandang takjub Alfonso yang telanjang. Alfonso pun memandang takjub Alyesha yang telanjang. Bagai sepasang bayi dalam terang gelimang cahaya. Dalam genangan gairah. Dalam kecipak nafsu yang memancar. Di atas ranjang putih kemilau. Lalu ada suara, seperti nyanyi yang dulu pernah didengar Alyesha, yang gugur perlahan dari payung malam. Menghanyutkan.

    Lonestar... where are you tonight...
    ...for you to shine down on me...

“Alfonso!”

Mereka, Alyesha dan Alfonso, terperanjat oleh suara panggilan itu. Pintu yang tak tampak garis batasnya terhadap dinding putih itu terkuak. Alyesha tak melihat kapan ada tangan (yang juga tidak dihitung jumlah jemarinya) menarik tubuh Alfonso, terseret ke luar ruangan. Dalam ingatan matanya: tangan itu serupa pijar bara jingga!

Alyesha telonjak. Tubuhnya melompat hendak menjangkau Alfonso yang sedang dia miliki, namun kalah tangkas. Kini ia terjerembab ke lantai, telanjang, kuyup oleh peluh. Sigap ia meraup pakaiannya. Sejenak ia sangsikan kemampuan telinganya untuk mendengar, padahal tadi bercakap-cakap dengan suara yang jelas.

Jadi benar kamu bernama Alfonso? Padahal aku hanya bermaksud menyebutmu (dan selalu menulis di buku harian) dengan serangkai huruf, Alfabet. Alyesha bimbang. Apa yang sedang terjadi? Apa yang kita lakukan di ruang tanpa nama ini?

Samar Alyesha mendengar hardikan. Jauh. Lamat-lamat. Seperti dipisahkan jarak. Seperti berbeda ruang dan tembok kedap berdiri di antaranya. Tapi kupingnya cukup jelas mendengar percakapan dengan dua nada yang berbeda. Yang satu mengisyaratkan kemarahan. Yang lain menunjukkan rasa takut dan bersalah. Ah, dunia apakah ini?

Alyesha mulai mengidap perasaan kehilangan. Ia kehilangan Alfonso, yang juga dipanggil dengan nama Alfonso oleh sesuatu yang tak tampak karena berada di balik dinding. Alyesha ingin mencoba mengintip. Meskipun tak ada celah (pintu itu tanpa lubang kunci) sedikit pun. Ketika tangannya mendorong pintu agar terbuka, tak ada yang berubah. Ia tidak melihat apa-apa di balik itu.

Ia, diam-diam, meraba lembut celah kemaluannya. Ada kenikmatan di antara sakit yang didedahkan. Sisa kelezatan itu seperti awet dalam lidah kemaluannya. Mukanya tiba-tiba menghangat. Oleh rasa malu yang memuncak. Adakah yang melihat kita? Tak sempat Alyesha berpanjang khayal, sesuatu terbanting di hadapannya. Membuatnya terpekik!

Alfonso dengan ribuan luka terkapar di kakinya. Air mata tumpah dari sepasang mata, leleh sejenak, lalu bergulir sebagai kristal. “Maafkan aku, Alyesha...”

“Kenapa kamu?” Alyesha berjongkok. Mengusap punggung Alfonso.

“Tinggalkan aku, Alyesha, aku memang makhluk paling hina.”

“Tidak, Alfonso. Aku tak ingin berpisah denganmu,” Alyesha mulai terisak.

“Tahukah kamu, siapa aku sebenarnya?”

“Aku tak ingin tahu lagi! Tak perlu tahu!”

Namun Alfonso tidak perduli: “Aku tercipta dari sisa buah khuldi yang digigit Ibu Hawa. Aku tercampak dari jemari tangan Ibu Hawa. Aku telah membuat Ibu Hawa malu. Aku kemudian menjadi anak asuh ular yang menggodanya. Tapi, percayalah, Alyesha, aku tak mau menjerumuskan manusia untuk kedua kali...”

Dalam berita surat kabar (beberapa di antaranya berupa headline), pesawat dari Hongkong yang transit di Singapura dan direncanakan mendarat di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, mengalami musibah. Pendaratan darurat berlangsung tidak sempurna sehingga separuh dari jumlah penumpang tewas. Evakuasi berlangsung sampai tengah malam. Sebagian besar yang masih bernafas dilarikan ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat. Alyesha, penumpang dengan nomor kursi 16 D, tak kunjung sadar sejak diangkat dari tubuh pesawat yang terpenggal pada bagian ekor. Ia terbujur dengan raut muka pasi, demikian tenang, dengan tiga selang terhubung ke lengan dan hidung.

Ini hari ketiga Alyesha terbaring dalam keadaan coma. Ayah Alyesha menunggu dengan kesedihan yang berlarut-larut. Setiap dokter yang merawat secara intensif tidak sanggup menjawab pertanyaannya: “Adakah Alyesha akan sembuh?” Oh, maaf, jika pertanyaan ini terlampau lancang dan serba ingin lekas. Mungkin ini lebih tepat: “Kapan Alyesha bisa tersenyum dan diajak bercakap-cakap?” Seandainya pertanyaan ini kurang sopan, sebaiknya kuajukan yang paling sederhana: "Adakah harapan bagi Alyesha untuk siuman?”

Dokter sejak awal, melalui data scanner, mengatakan bahwa kepala Alyesha mengalami benturan luar biasa. Ini, masih menurut dokter ahli, kejadian yang ketiga kali di tempat yang sama. Lihatlah, air mata ayah Alyesha rembes lagi ke pipi. Sebentar lagi ibu Alyesha akan berkunjung ke kamar ICU ini. Barangkali aku akan menyampaikan berita ini (seperti ketika Alyesha berumur lima dan sembilan tahun) dengan suara yang gemetar, dada yang memadat, dan mata basah.

Ayah dan ibu Alyesha akan sangat kesepian tanpa suaranya. Alyesha gadis ceria yang gemar bicara sendiri. Banyak tulisannya bercerita tentang tokoh-tokoh khayal yang menghuni dunia damai (bukan dunia ramai). Entah di mana. Mungkin kau lebih paham, karena Alyesha kerap berahasia terhadapku. Kini wajah Alyesha yang pucat tertidur dalam genangan rahasia.

Hampir tengah malam, ibu Alyesha datang membawa sekeranjang buah apel kesukaan anaknya. Tapi tak hendak berguna. Meskipun ia mengupas satu per satu apel itu, meletakkannya di atas ranjang. Berbutir-butir. Kukira, kau akan lebih terpukul dan merana dibanding aku.

“Sudahlah. Tunggu sampai ia terjaga,” Ayah Alyesha mengusap rambut sang ibu. Memeluknya. Air mata ibunya numpah ke dada. "Mana buku harian Alyesha?”

Nyaris tanpa suara, sebuah kopor penuh buku catatan Alyesha dibuka. Entah dari mana harus mulai dibaca, kecuali bersabar mengurutkan tanggal demi tanggal. Aku semakin tidak mengenalmu, Alyesha. Halaman demi halaman, menyusuri percakapan Alyesha dengan Alfabet. Siapakah Alfabet? Aku semakin tidak mengenalmu, Alyesha.

“Ah, darah!” Ibu Alyesha menjerit. Ayahnya melompat mendekati ranjang.

Selimut putih yang menutup tubuh Alyesha ternoda darah dua pulu sentimeter di bawah pusar. Tepat di celah pertemuan kedua belah paha Alyesha. Bercak segar yang tidak menyebar. Ayahnya memandang dengan rasa cemas, dan mengira Alyesha tak akan tertolong lagi. Ibunya menjerit memanggil dokter. Hari hampir pagi. Rumah sakit demikian sunyi.

Dokter memeriksa dengan tangan gemetar. Kacamatanya penuh embun. Ia minta izin agar dokter kandungan yang akan menangani lebih lanjut. Ia mengucapkan pernyataan yang barangkali tak pernah dia percaya seumur hidupnya. "Satu setengah jam yang lalu, Alyesha kehilangan keperawanan.”

Ayah dan ibu Alyesha terdiam seperti arca. Bahkan sewaktu memperhatikan bulu mata Alyesha bergetar. Dari celah rambut lentik itu meleleh air bening, yang mengalir ke pipi sebagai kristal. Mereka mengumpulkan butiran kuarsa bening di cekung bantal Alyesha dengan hati redam. Kami semakin tidak mengenalmu, Alyesha.

Ini hari keseribu dua ratus enam puluh Alyesha tak mau tidur. Ia menangis di depan Alfonso yang tengkurap ngilu, tak bergerak. Tangan Alyesha sesekali mengusap rambut ikal kemerahan, juga ribuan luka di tubuh Alfonso.

Ia mendengar bisik terakhir Alfonso, sebelum sunyi membentuk tabir abadi. "Aku mencintaimu sejak kamu dilahirkan, Alyesha. Aku tak pernah tahu kapan kamu mati. Aku tak pernah menjadi sabar untuk menunggumu. Aku hanya ingin bisa lebih lama bersamamu, sebelum kamu mati. Tapi aku selalu gagal membujukmu. Kini perasaan kesepianku tak hendak hilang dari pendengaranmu. Ia kekal dalam telingamu, Alyesha.

    Lonestar, where are you out tonight?
    This feeling I'm trying to fight
    It's dark and I think that I would give anything
    For you to shine down on me...

Ini hari keseribu dua ratus enam puluh Alyesha tidak bangkit dari coma. Ayah Alyesha menunggu dengan sabar. Seraya menghimpun butir-butir kristal air matanya yang tak kunjung habis. Aku akan selalu menemanimu, Alyesha. Aku tak pernah merasa benar-benar bersalah, kecuali saat ini. Ia pun berbisik di relung telinga Alyesha: "Melalui suara Norah Jones, kini aku mulai mengenalmu, Alyesha. Dengarlah, puteri Ravi Shankar itu menyanyikan lagu kesukaanmu.”

    How far you are I just don't know
    The distance I'm willing to go
    I pick up a stone that cast to the sky
    Hoping for some kind of sign....

Hari hampir pagi. Rumah sakit demikian sunyi. Alyesha tidak bangkit dari coma. Di tempat lain Alyesha tak mau tidur. Ia bersimpuh di depan tubuh Alfonso, yang terbujur dengan ribuan luka.

Jakarta, 14 Maret 2003



Cerpen berjudul "Alyesha Tak Mau Tidur" ini merupakan karya penulis terkenal Kurnia Effendi yang dipublikasikan dalam Jurnal Cerpen Indonesia, Volume 3, Juli 2003. Ditempatkan sebagai salah satu koleksi cerpennya pada buku Senapan Cinta. Buku tersebut menjadi referensi SyamSalabim untuk memuat kembali cerpen ini dengan tujuan literasi sastra.

Hak cipta dari kisah yang terdapat dalam cerpen di atas sepenuhnya milik penulis dan media yang disebutkan. Jika ada pihak yang keberatan dengan keberadaan cerpen fantasi Alyesha Tak Mau Tidur dalam blog ini, silahkan hubungi kami untuk meniadakannya.