DÉJÀ VU

Deja Vu

Sekian tahun yang lalu, seperti pernah saya lewati jalan lurus ini. Dengan suasana yang serupa. Pada jam yang sama. Kecepatan mobil yang sama. Dan saya mendengar lagu yang sama: Déjà vu. Bunyi flute yang mendayu, di antara desing halus mesin sedan, sedikit memabukkan. Saya bersiul-siul sendiri dalam kabin.

Di kiri-kanan jalan tumbuh pohon mapel. Berbaris-baris seperti puisi. Warna daunnya seragam. Takluk di bawah pengaruh awal musim gugur. Terbakar oleh cahaya matahari sore. Berkilau-kilau jingga. Beberapa lembar mulai berjatuhan, perlahan, di aspal jalan, dihembus angin dingin. Satu-dua mendarat di kaca depan, sebelum terpelanting. Mirip pertunjukan sendratari laga. Bergantian terjun ke panggung, bertarung dalam iringan musik, lantas sampyuh bersama-sama.

Kini saya memasuki daerah pertokoan. Situasi jalan raya tak sesibuk biasanya. Justru semakin mempertegas teka-teki di kepala saya. Seolah-olah sedang mengulang perjalanan sekian tahun yang lewat. Persis ketika roda depan menginjak zebra-cross pertama di muka toserba, Dave Valentin mengakhiri permainan musiknya pada sisi A kaset yang saya putar. Dan beberapa detik sesudah intro tembang pertama dalam jalur B mengalir, seseorang menghentikan mobil saya. Laki-laki muda bertubuh atletis. Berdiri sendiri di trotoar.

Tangannya melambai seakan tak sengaja. Entah yang kanan atau yang kiri, karena terlalu sebentar. Sekejap kedua tangannya sudah masuk kembali ke dalam saku jaketnya yang tebal. Tidak peduli apa maksudnya, saya mengurangi kecepatan. Saya rapatkan mobil ke kanan dan berhenti tepat di depan sepasang kakinya. Saya turunkan kaca jendela kanan, seketika angin dingin berlomba mengisi ruangan.

“Boleh saya menumpang?” tanyanya sebelum saya sempat melempar senyum kepadanya. Ia berkata tanpa bergerak dari tempatnya.

Saya melebarkan bibir untuk menghapus tanda tanya mata saya. “Tentu. Anda mau ke mana?”

“Ke pusat kota,” sahutnya pendek.

“Ayolah!” Sebelum hilang benar gaung suara saya, tangannya telah meraih tuas pintu. Membukanya dengan sigap dan segera masuk tanpa basa-basi lagi. Saya perhatikan wajahnya yang keruh. Lukisan kelabu itu bukan menyimpulkan pikiran yang jahat, saya yakin, melainkan sejumlah keresahan yang terpendam.

Mobil saya jalankan kembali tanpa pertimbangan lebih lanjut. Musik terus bernyanyi. Perlahan. Secara perlahan pula, bayang-bayang mencurigakan menghampiri ingatan saya. Rasanya saya pernah berjumpa dengan orang muda ini. Entah kapan. Tapi suasana memang nyaris seperti ini.

“Nama saya Heru. Anda siapa?” tanya saya. Siapa tahu, jawabannya menyambung jurang peristiwa yang melebar tak terjangkau.

“Golly”

“Golly?”

"Ya. Kenapa? Anda pernah mendengar nama itu?” Matanya yang kelabu menatap saya lurus. Selintas kegugupan yang saya curi, menghilang pada detik berikutnya.

“Entahlah. Tapi rasanya kita pernah bertemu.”

“Di mana? Mungkin ingatan saya terlalu buruk.”

“Di tempat ini juga.”

“Tidak mungkin!” sanggahnya cepat. “Saya baru tiba di negara ini kemarin pagi. Sepanjang tiga puluh jam tidak saya temui seorang Indonesia pun...”

“He, tapi Anda tahu saya orang Indonesia!”

“Itulah kesalahan saya!” katanya menyesal. “Setiap kali saya menebak secara sambil-lalu, hasilnya selalu tepat.”

Aneh, pikir saya. “Saya kira itu kelebihan yang tidak dimiliki setiap orang. Atau Anda memang pernah bertemu saya?”

“Sudah saya katakan: tidak. Sebaiknya Anda jangan menambah beban persoalan saya.”

Saya menghela nafas panjang. “Maaf, agaknya persoalan yang Anda hadapi begitu menggelisahkan.”

“Tidak sedang saya hadapi. Semuanya sudah berlalu. Tetapi sampai sekarang masih mengganggu pikiran saya.” Sejenak ia berhenti, lalu, “Sesuatu yang saya lakukan di masa lalu itu benar atau salah?”

“O, saya bisa memahami. Saya pun pernah mengalami gangguan pikiran semacam itu. Memang menggelisahkan. Seperti teror.”

“Ya, seperti teror,” ia membenarkan.

“Persoalan Anda itu mengenai kekasih, hubungan dengan orang-tua, sekolah, pekerjaan, atau mungkin rumah tangga?” Saya mencoba memandang wajahnya.

“Bukan.”

"Lantas?”

“Dengan klub sepak bola saya.” Ia menoleh karena alunan nafas saya mendadak tak rapi. “Saya seorang penjaga gawang.”

“O,” giliran saya yang memperhatikan matanya. “Saya juga seorang penjaga gawang. Tapi itu dulu. Beberapa tahun yang lewat.”

“Kenapa sekarang tidak lagi?” Ada kerjap ragu pada matanya yang membuat saya lebih ragu menjawabnya.

“Saya ingin pensiun. Itu saja.”

“Tapi Anda masih muda, masih bisa berbuat banyak di lapangan.”

“Hal itu tidak menjadi soal, kan? Saya mungkin kalah terampil dibanding pemain sekarang.” Saya mencoba membendung pertanyaan berikutnya.

“Ya, bisa jadi begitu.” Ia menggarisbawahi pendapat sava. Kemudian terdiam. Kabin sepi percakapan, kecuali alunan musik Dave Valentin.

“Anda tidak ingin menceritakan problem yang merisaukan itu?” Saya memancing.

“Saya jadi bimbang mengatakannya...”

"Karena saya juga seorang penjaga gawang?”

“Hm, ya.” Tangannya bergerak-gerak seperti orang gugup. “Tapi itu bukan alasan.”

"Betul. Dan saya menyarankan, demi sedikit meringankan beban pikiran Anda, sebaiknya ada katarsis. Barangkali, jika Anda bersedia, saat ini saya boleh jadi tempat curhat.”

Kegelisahan di matanya reda oleh senyum saya. Tangan kanannya menjangkau sigaret, sebatang. “Boleh saya merokok?”

“Silakan.” Saya membuka kaca jendela untuk membebaskan asap rokok yang akan melayang-layang dalam kabin.

“Anda tentu akan memandang muak kepada saya,” katanya, setelah korek api dinyalakan membakar ujung sigaretnya. “Saya pernah disuap oleh pihak lawan.”

Astaga! Hampir saja kekagetan dalam hati saya terbaca oleh matanya. Untung kaki saya tetap terjaga di tempatnya, sehingga mobil tidak mengalami perubahan kecepatan.

“Jangan berburuk sangka. Saya tak akan menentukan sikap sebelum tahu pasti duduk perkaranya.”

“Anda yakin bahwa apa yang saya lakukan itu bukan semata-mata saya kehilangan rasa nasionalisme?”

Saya mengangguk dan tersenyum.

“Saat itu, saya sendiri heran, mengapa team-manager kesebelasan lawan tahu keadaan ekonomi saya yang longsor. Istri dan anak pertama saya dirawat di rumah sakit. Masing-masing harus menjalani operasi setelah rawat-inap beberapa minggu. Santunan untuk mereka tidak memenuhi jumlah yang dibutuhkan. Tiada lagi yang harus saya gadaikan, sementara kami masih tinggal di rumah sewa. Sedangkan hutang saya pada klub sudah amat banyak. Saya nyaris putus asa dan tidak bersedia main melawan klub negara lain, kalau sore keparat itu tak pernah terjadi?”

Ia menghisap rokoknya kuat-kuat. Membiarkan asap putih menerjang dinding paru-parunya tanpa dibiarkan keluar seserpih pun. Saya lihat melalui cermin: matanya berkaca-kaca. Sedih betul agaknya. Tapi saya tetap mengekang rasa penasaran yang menggumpal.

“Ya! Dua orang Jerman itu tiba-tiba datang ke rumah, saat saya berada di puncak kebingungan. Memilih antara berangkat atau tidak. Mereka mengatakan--bukan memerintah--bahwa saya harus main. Mereka akan memberi sejumlah uang, di samping membayar seluruh biaya perawatan anak dan istri saya.”

“Apa syarat yang mereka ajukan?” Kini saya tak sanggup menahan rasa ingin tahu yang menggejolak.

“Syaratnya mudah. Pada saat terjadi tendangan penalti--yang telah diatur--terhadap gawang saya, hilangkanlah seluruh instink dan antisipasi. Saya hanya diminta bergerak ke kanan, sedangkan bola akan tertembak ke kiri. Itu saja.” Ia berhenti dan mengusap matanya yang mengabut. “Untuk pekerjaan yang begitu sederhana, mereka bersedia membayar mahal.”

“Berapa? Kalau saya boleh tahu...”

“Tiga puluh ribu dolar.”

Astaga! Tangan saya gemetar. Terasa aliran darah berpacu dalam tubuh saya. Sekuat tenaga saya menahan perasaan. Menunggu dia melanjutkan cerita.

“Saya yakin, selain saya, ada lagi yang mereka suap. Rupanya pemain belakang klub kami, yang harus melakukan pelanggaran di kotak penalti. Tetapi saya tidak diperkenankan tahu, siapa orangnya. Agaknya rencana itu telah disusun rapi...”

“Dan apa jawaban Anda untuk tawaran mereka?” tanya saya tak sabar.

“Karena bukan hanya saya yang disuap, saya setuju. Saya menandatangani perjanjian. Berikutnya mereka meletakkan uang muka yang dijanjikan. Sore itu saya tak punya pikiran lain, kecuali berhasil menyelamatkan diri dari kemelaratan.”

“Apakah kemudian Anda melakukan hal yang mereka kehendaki?"

“Itulah persoalannya. Begitu saya turun ke lapangan, saya ingin menangis menyaksikan sambutan penonton yang begitu mengharukan. Mereka suporter fanatik klub kami. Sangat berharap kesebelasan favorit mereka menang dan membawa nama negara untuk turnamen paling terhormat di Eropa tiga bulan berikutnya. Tapi di bawah portal gawang, saya siap menghancurkan impian mereka. Saya meramal, tepuk tangan mereka akan berubah caci maki dan hujan batu.”

Ia mematikan rokoknya di asbak. Membuang asap terakhir dari mulutnya. Perlahan-lahan. Seperti sengaja membuat saya geregetan.

“Dan pertandingan pun dimulai. Sangat seru. Pada babak pertama tak ada satu gol pun terjadi. Memang kenyataannya demikian, atau semua itu telah menjadi bagian dari skenario kesebelasan lawan? Saya tidak tahu pasti. Karena saya telah mati-matian mempertahankan gawang. Pada babak berikutnya, saya bingung. Siapa yang akan saya khianati?”

“Tentu Anda segera mengambil keputusan dengan tindakan,” serbu saya.

“Benar. Pada menit keempat-puluh-satu, wasit menghukum kami dengan satu tendangan penalti karena sebuah pelanggaran. Kejadiannya seperti di luar pengamatan saya. Tapi tidak ada protes, tidak ada kericuhan yang berlarut-larut. Jadi memang benar telah terjadi pelanggaran di kotak penali. Itulah saatnya melakukan pengkhianatan!”

Mobil serasa berhenti. Jalanan kota yang tidak memberikan keheningan. Kaset saya matikan, demi mendengar lebih jelas penuturan bagian kisahnya yang terpenting. Ingin rasanya sepasang telinga saya bergabung di kanan kepala.

“Bola sudah siap ditendang. la terletak mengancam, dua belas meter di depan mata saya. Saya belum tahu siapa yang akan menendang. Pada saat itu, saya harus bergerak ke kanan seolah-olah keliru menebak arah tendangan. Peluit pun menjerit, dan bola itu melayang dengan amat deras.”

Mendadak ia terbatuk-batuk. Mirip penderita penyakit menahun sedang diserbu musuh yang paling dibencinya. Ia sampai terbungkuk menahannya. Sampai matanya merah. Berair. Dan nafasnya tersengal-sengal. Susah betul kelihatannya. Saya merasa iba, namun juga geram terhadap kuman yang tak tahu diri. Mengganggu jalan cerita!

“Tolong berhenti di depan,” ujarnya terengah-engah.

Saya menurut. Menepi ke kanan, lalu menginjak rem. Mobil terhenti. Saya lihat ia memejamkan mata sambil mengurut dada dengan kedua tangan. Nafasnya mulai tenang.

“Terimakasih atas tumpangannya. Saya turun di sini saja,” katanya mengagetkan.

“Tunggu! Cerita Anda belum selesai,” ujar saya ragu-ragu. Pantaskah saya memaksa seseorang yang menderita untuk memenuhi keinginan saya?

“Oh, ya?” Ta seperti baru menyadari. “Kurang dari setengah detik, saya tahu persis: bola itu justru menyerbu amat cepat ke arah kanan!”

Saya terpana. Benar-benar terpana mendengar penghujung kisahnya. Saya semakin terpana ketika ia mendadak membuka pintu dan kakinya diturunkan ke jalan. Sekali lagi ia mengucapkan terimakasih, tersenyum sambil menutupkan pintu dari luar. Sewaktu ia melangkah pergi, saya segera memanggilnya.

“Bung!” teriak saya. la menoleh, menunggu. “Anda belum mengatakan, di saat kritis itu ke mana Anda bergerak? Ke kanan atau ke kiri?”

Ia hanya mengangkat bahu. “Menurut Anda, ke kanan atau ke kiri?”

Saya merasa jengkel dengan jawaban jelek itu. Saya membuka pintu, keluar dari mobil, namun segera membatalkan niat untuk mengejarnya. Apa gunanya? Persetan! Berikutnya saya membanting pintu, Menghidupkan mesin dengan kasar. Lalu melesat dengan kecepatan tinggi. Pikiran saya rusuh seketika.

Yang membuat saya sangat masygul dan merasa terjebak adalah: segala yang diceritakan Golly serupa benar dengan pengalaman saya beberapa tahun lalu. Saya dihempas kesulitan ekonomi yang sama. Saya menerima imbalan yang sama, dengan syarat serupa pula. Astaga! Siapa Golly sebenarnya?

Tahun berikutnya, setelah menggantung sepatu, saya pergi ke kota ini. Dan di sepanjang jalan tempat kami bercakap-cakap tadi, saya melakukan hal yang betul-betul mirip. Karena perasaan saya terganggu. Yang saya lakukan itu benar atau salah?

Ya. Pada sebuah jalan yang tak terlalu ramai, ketika matahari senja menyepuh permukaan daun-daun mapel, saya melambai ke sebuah sedan. Pengemudinya mempersilahkan saya masuk. Pemiliknya... saya ingat betul. Wajahnya, suaranya, bahkan senyumnya yang mahal, mirip dengan Golly. Rasanya, namanya pun hampir terdengar seperti: Golly!

Kepada orang itu, dulu, saya menuturkan beban pikiran. Menurut perjanjian, saya diharuskan melompat ke kanan, karena bola akan menerjang bagian kiri gawang saya. Cerita saya terhenti pada: “Dua belas meter di depan mata saya, bola siap ditendang oleh kapten kesebelasan lawan. Maka peluit wasit pun berbunyi...”

Saya minta berhenti karena memang telah tiba di tujuan. Ketika saya turun, ia menahan langkah saya dengan pertanyaan: “Bung Heru, saya ingin tahu apa yang Anda lakukan saat bola ditendang ke gawang Anda: Meloncat ke kanan atau ke kiri?”

“Entahlah. Saya benar-benar tak ingin mengingatnya lagi,” kata saya sebelum meninggalkannya dengan tergesa. Saya tak tahu apa yang kemudian dipikirkannya. Kini saya pun mengalami. Jangan-jangan... Golly merupakan penjelmaan pikiran risau saya. Alter-ego yang menjelma manusia!

Tetap kasus kami berbeda. Saya enggan menyelesaikan sejarah memalukan itu karena saya memang tak bergerak kemana pun. Tidak ke kanan, juga tidak ke kiri. Sedetik sebelum peluit berakhir gemanya, saya terpaku menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Penonton, entah dari pihak mana, turun dari tribun menyerbu lapangan. Di antara mereka, atau mungkin polisi, menembakkan pistol. Bunyinya mengagetkan. Paha saya terasa hancur oleh peluru yang nyasar. Berikutnya begitu sulit dituturkan. Kecuali peristiwa penyelamatan saya ke rumah sakit. Saya tak melihat berita huru-hara itu ketika disiarkan televisi, karena masih berada dalam ruang Unit Gawat Darurat.

Kesimpulannya: Golly bukan saya!

Mobil tetap saya larikan dengan kecepatan setan. Kembali saya nyalakan kaset Dave Valentin, sisi A. Alunan Déjà vu vang memabukkan. Tak sadar saya telah tiba di kawasan industri logam. Saya lupa menurunkan kecepatan pada sebuah tikungan. Tatkala mendahului sebuah truk beroda delapan-belas, alangkah terkejutnya saya memergoki sebuah traktor pengeruk besi tua. Dalam sepersekian detik saya harus memilih: membanting stir ke kanan atau ke kiri? Menghajar bengkel las di sisi kiri jalan atau membentur traktor itu?

Saya terjaga oleh musik Dave Valentin. Déjà vu. Hidung saya mencium aroma desinfectant. Mata saya menangkap ruangan serba putih. Rumah sakit? Lalu siapa yang memutar Dave Valentin di sini?

Saya mencoba bergerak, alangkah sulit. Tangan saya meraba-raba, mengenali kepala, dada, pinggang, paha... astaga, semua terbalut. Dan nyeri yang sangat, tiba-tiba menyengat seluruh syaraf saya.

Bunyi sepatu yang mendekati kamar, terdengar halus. Tubuh semampai yang berpuncak seraut wajah cantik, sebentar menghias lubang pintu, dan bergerak menuju tempat tidur saya. Bibirnya tersenyum. Sementara saya sulit membalas senyumnya, dengan bibir sakit dan terasa tebal.

“Lagu ini mengganggu, ya?” Ia melepas sambungan sistem suara. Seketika alunan seruling logam yang mendayu-dayu menghilang dari pendengaran. Saya terlambat mencegahnya. Membuat ruangan sunyi senyap.

“Kami menunggu Anda terjaga,” katanya lembut. “Sebab kami akan memberitahu sekaligus meminta izin Anda.”

“Mengenai apa? Katakanlah segera! Saya sudah biasa mendengar kabar buruk.”

Suster cantik itu berkata hati-hati. “Salah satu kaki Anda harus diamputasi.”

Saya tak ingat, bagaimana caranya terkejut, apalagi pingsan. Rasanya itu kabar biasa. Rasanya saya pernah mendengar berita tentang kaki saya akan diamputasi sejak dulu. Berulang-ulang.

Kelak, saya pulang dari Kanada dengan hanya sebelah kaki. Ya Tuhan! Baru saya sadari, alangkah sulit berjalan menggunakan kruk sebelum terbiasa. Dan sesungguhnya, pekerjaan yang paling mudah saat ini adalah terkejut dan merasakan kesedihan yang memilukan.

“Suster...”

“Sebentar, saya dipanggil dokter.” Setelah menyalahkan lampu kamar, gadis itu beranjak pergi. Saya mencoba menggerakkan bibir sebelum ia keluar jauh dari kamar.

“Suster! Kaki mana yang hendak dipotong?” Saya berteriak dengan suara serak. Leher saya terasa sakit. “Yang kanan atau yang kiri?”

Tak ada jawaban. Nihil. Oh! Kepala saya terjatuh ke bantal. Ya Tuhan. Yang kiri atau yang kanan? Tiba-tiba saya menangis, oleh sebuah ketakutan. Selama saya hidup, rupanya hanya ada satu yang benar-benar saya takuti dengan histeria. Yakni pertanyaan: yang kanan atau yang kiri? Ke kiri atau ke kanan? Kanan atau kiri...?

Bandung, 1986



Cerpen ini adalah karya Kurnia Effendi yang dikutip SyamSalabim dari buku Senapan Cinta. "Deja Vu" pertamakali dimuat dalam majalah Femina tahun 1987. Tahun sebelumnya berhasil meraih juara I Lomba Cerpen yang diselenggarakan oleh Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Universitas Padjadjaran, Bandung, 1986.

Hak cipta sepenuhnya milik Kurnia Effendi selaku penulis buku Senapan Cinta. Ditampilkan kembali dengan tujuan edukasi dan literasi. Jika ada yang keberatan akan pemuatan cerpen misteri Deja Vu pada blog ini silahkan kontak kami untuk menghapusnya.