Lan Fang

Lan Fang

SEANDAINYA aku menerima tawaran Yin Ling, mungkin keluargaku akan merayakan Tahun Baru Imlek dengan kemilau harta. Kami tidak perlu terus berpuasa agar bisa membeli hu, hio, xiang lu, dan sesaji untuk dewa-dewi.

“Bila kau ingin kaya, datanglah ke Makau,” tutur Yin Ling ketika kami bertemu satu bulan yang lalu. Waktu itu, aku tengah membeli bahan-bahan membuat kue keranjang dan replika bunga mei bwa.

“Bagaimana aku bisa kerja di Makau, Ce?” balasku ragu. “Ijazah SD pun aku tak punya.”

“Ah, gadis secantik kamu tidak perlu ijazah untuk bekerja,” tandas Yin Ling “Asalkan masih perawan.”

Aku mengangguk bingung. Baru kali ini aku mendengar pekerjaan dengan syarat keperawanan.

Malamnya, tawaran Yin Ling melompat-lompat dalam pikiran. Membuatku selalu dilihat gelisah. Sebelum menyalakan dupa di altar keluarga dan berdoa di hadapan Dewi Guanyin, aku tidak akan bisa memejamkan mata.

Namun, Yin Ling tetap menyusup ke dalam relung-relung mimpi.

Dalam mimpi itu, kampungku didatangi setan berwujud Nian Show berkepala Yin Ling. Tidak ada hu dan mantra yang bisa menangkalnya. Ia membobol semua rumah yang memiliki anak gadis perawan. Ia menggoyang-goyang lampion, serta mengabaikan letusan mercon dan percikan kembang api. Lalu, ia menerkam dan membawa pergi gadis perawan.

Saat setan tersebut membobol pintu rumahku, patung Dewi Guanyin dari kayu jati bangkit dari altar keluarga. Patung itu memukul-mukul kepala Yin Ling yang menempel di leher Nian Show. Membuat setan itu mengaduh kesakitan, marah, balas menyerang, dan terus mencoba merebut diriku. Mulutnya menyemburkan api yang menghanguskan patung Dewi Guanyin.

Dari abu patung Dewi Guanyin muncul naga dan burung bong. Mereka menyerang Nian Show berkepala Yin Ling. Sayang, keduanya tidak bertahan lama. Setan itu terlalu kuat. Sebelum mereka dihanguskan api yang menyembur dari mulut Nian Show berkepala Yin Ling, Guan Yu dan Hou Yi yang dilukis ayah di dinding rumah, jatuh ke lantai. Bersama-sama mereka menumpas setan berwujud Nian Show berkepala Yin Ling.

“Hatimu masih suci, Lan Fang,” tutur Guan Yu saat Nian Show berkepala Yin Ling tersungkur ke bumi dengan dada tertembus panah Hou Yi. “Kau tidak mengikat diri pada kebendaan. Karena itu, surga mendengar doamu.” Usai mengucapkan kalimat ini, Guan Yu melompat dan memenggal kepala setan itu.

Setelah Hou Yi dan Guan Yu kembali ke dalam lukisan di dinding, aku terbangun dengan keringat membanjiri seluruh pori-pori tubuh. Dadaku terasa ditindih seribu pagoda dan patung Buddha.

“Kau hanya bermimpi,” kata ayah keesokan harinya.

“Mimpi itu terlalu nyata,” bantahku. “Aku yakin, Yin Ling telah menjelma setan.”

Sebagaimana ayah, tidak seorang pun yang percaya pada mimpi yang mewujud di depan mataku. Bahkan, patung Dewi Guanyin yang hangus pun tidak membuat diriku dipercaya.

DULU, Yin Ling diusir orang sekampung. Tak ada yang menginginkannya usai peristiwa haram terjadi. Ia tertangkap basah sedang mandi keringat dengan seorang pria buncit asal Belanda. Kabarnya, bule itu tengah melakukan penelitian mengenai Tionghoa Kebun di Pulau Belitung. Tapi, kenyataannya, ia lebih sering meneliti sesuatu di antara dua paha Yin Ling. Setelah dipaksa telanjang dan diarak mengelilingi kampung, bule itu membawa Yin Ling kabur ke Makau.

Dua tahun kemudian, Yin Ling pulang ke Tanjungpandan. Kampung kami gempar. Ia telah menjadi orang kaya baru. Jauh lebih kaya daripada Paman Li. Yin Ling pun disambut kedua orang tuanya bagai Dewi Guanyin yang membawa keberuntungan. Dalam hitungan bulan, rumah orang tua Yin Ling sudah berganti dengan rumah mewah berarsitektur China klasik era Dinasti Qing. Naga dan burung bong bersepuh emas mencengkeram bumbungan atap rumahnya. Lukisan gulung yang nyaris menyerupai Sepanjang Sungai saat Festival Cing Ming karya asli Zhand Zehudan, terbentang di dinding beranda depan. Halaman depan rumahnya yang dulu disesaki belukar bambu yang dihuni para hantu, kini diselimuti lautan bunga peoni dengan patung Dewi Kwan Im menjaga di empat penjuru. Kata Bibi Fu, rumah Yin Ling jauh lebih megah daripada Paviliun He-shou di Taman Ou Yuan.

Dua hari menjelang Tahun Baru Imlek, aku bertemu Yin Ling di tepian mandi. Ia masih mengulang kebiasaan mandi tanpa busana. Keranjang Yin Ling penuh peralatan mandi merek luar negeri dan berlembar-lembar ceongsham dari kain sutra. Dalam hati, aku merasa malu. Keranjang cucian yang kubawa penuh pakaian rombeng yang sudah tidak layak pakai.

“Apa yang kau inginkan seumur hidupmu?” tanya Yin Ling.

“Ceongsham sutra!” sahutku tanpa pikir panjang.

Yin Ling tertawa cekikikan. Bunyinya mengiris gendang telingaku.

“Selain ceongsham sutra, apalagi yang kau mau, Lan Fang?” tanya Yin Ling mengalihkan perhatian. Ia tak lepas-lepas memandangku sambil menyapu tubuhnya dengan lulur yang melebihi keharuman aroma peri surgawi.

Aku menghentikan membilas selendang yang sudah kehilangan warna.

“Selain ceongsham sutra, apa yang kau inginkan lagi?” desak Yin Ling.

Bersama embusan napas berat, kujawab, “Aku ingin sekolah!”

Mendengar jawabanku, tawa Yin Ling pecah. Kali ini suara tawa Yin Ling menukik tajam. Aku seolah-olah baru saja melempar lelucon yang bisa menghidupkan orang mati. Tawa Yin Ling tidak kunjung berhenti. Melengking membelah kesunyian pagi. Tajam dan menikam. Hingga aku khawatir tawanya bisa membelah batang-batang pohon aur di sekitar tepian.

Tawa itu terhenti saat Yin Ling berguling ke arus deras. Tubuh Yin Ling tak ubahnya perahu kertas. Ia hanyut bersama bunga teratai, ranting-ranting, daun-daun kayu, dan selembar puisi yang kutulis dengan kaligrafi China. Timbul tenggelam. Tawanya bertukar raungan minta tolong. Aku terkesiap. Sempat kulihat sekeliling untuk minta bantuan. Tak ada seorang pun terlihat. Para laki-laki yang menonton Yin Ling mandi—dari atas tebing—pun lenyap. Tanpa pikir panjang, aku menceburkan diri ke arus deras. Dan memburu Yin Ling yang terseret arus ke lubuk.

Tangan Yin Ling menggapai-gapai udara. Sebelum aku meraih pergelangan tangannya, Yin Ling telah terseret ke dalam palung. Sambil membisikkan doa-doa pada leluhur dan dewa-dewi, aku menyelam dan memburu Yin Ling.

Pukul tujuh pagi aku berbaring lelah di hamparan pasir di tepian sungai. Tubuhku basah kuyup. Di sisiku, Yin Ling tergeletak layu. Meskipun telah kehilangan tenaga, aku memaksakan diri untuk menekan dadanya—agar jantungnya kembali berdetak—dan memberikan pernapasan buatan.

Yin Ling masih belum juga sadar. Membuatku cemas. Meski keraguan menjamur dalam sanubari, aku mencoba melantunkan tembang doa dan penyembuhan tabib Buddha yang pernah kudengar di klenteng, “Seperti rinai hujan yang mengisi anak sungai, dan bergabung di lautan, demikian pula kekuatan setiap titik kebaikanmu mengalir untuk membangunkan dan menyembuhkan semua makhluk—yang ada kini, yang telah berlalu, yang akan datang.

Setelah tembang itu melesat ke udara bebas, kulihat Yin Ling mulai bergerak lemah. Ia segera bangkit dari hamparan pasir. “Di Makau, banyak pekerjaan bergaji tinggi untuk perawan secantik kamu, Lan Fang,” tutur Yin Ling lemah.

Dalam lima menit, ia telah memunggung diriku dan melangkah gontai menuju keranjang cucian. Mengucapkan xi-xie pun tidak. Barangkali karena kelelahan, mataku menjadi bermasalah. Kulihat perlahan-lahan tubuh Yin Ling menjelma Nian Show.

PADA perayaan Tahun Baru Imlek, aku berjumpa dengan Yin Ling di hadapan pagoda yang menjulang di halaman kelenteng, Aku nyaris tidak mengenali wajahnya. Polesan kosmetik dan pakaian mewah, membuat Yin Ling mengalahkan kecantikan apsara ataupun Gong Li. Tapi, kecantikannya sirna saat mimpi setan berwujud Yin Ling bertubuh Nian Show melintas dalam pikiranku.

Hari itu aku mengamen di halaman kelenteng dengan menggunakan kecapi. Hingga suaraku parau Yin Ling masih berdiri menatapku.

“Bagaimana, Lan Fang?” sapa Yin Ling setelah penonton terakhir menjauh. Farfum di tubuhnya menguarkan aroma daun krisantemum yang membusuk. “Kamu mau bekerja di Makau?”

“Oh, aku pikir-pikir dulu ya, Ce,” tuturku ragu. Di mataku, Yin Ling perlahan-lahan terlihat seperti setan yang muncul dalam mimpiku itu.

“Percayalah padaku, Lan Fang,” rayu Yin Ling “Aku bisa mencarikan kamu banyak pekerjaan bagus dan bergaji tinggi. Kamu bisa menjadi artis, penyanyi, penari, atau menjadi pengusaha seperti diriku.”

“Aku mau jadi pedagang saja, Ce,” sahutku berusaha tenang, “Setelah punya cukup uang, aku akan membeli ceongsham dan bersekolah.”

Telah lama aku menyimpan impian untuk sekolah. Di sekolah, aku bisa belajar mengarang dan membaca buku di perpustakaan. Sebab, selain berdagang, aku punya impian untuk menulis cerpen seperti sastrawati yang memiliki nama yang sama denganku: Lan Fang. Dari tulisan Lan Fang-lah, ayah pertama kali mengajari diriku mengenal huruf-huruf beraksara bahasa Indonesia.

“Kalau mau jadi pedagang, kamu harus punya modal besar,” sanggah Yin Ling seolah-olah tidak percaya. Matanya melotot. “Itupun belum tentu kamu akan bisa segera kaya. Bagaimana kalau daganganmu tidak laku? Bagaimana kalau kamu ditipu?” sambung Yin Ling membuat nyaliku mengerut.

Lalu, tiba-tiba ia tertawa. Patung singa yang menjaga gerbang kelenteng tampak terbangun dan marah. Mata singa itu memijarkan cahaya semerah kelopak bunga kastuba. Sayang, Yin Ling tidak melihatnya. Ia terus tertawa.

Setelah kobaran tawanya padam, dengan ringan Yin Ling memasukkan jemari kanan ke dalam krah rendah qipao. Jemari yang sepipih tusuk gigi itu merogoh kutang yang sempit, seperti kurang bahan. Lalu, sepucuk amplop merah menari-nari di tangannya. Aku hampir berteriak ketika amplop itu beralih ke saku kemeja batik lusuh yang kupakai.

“Kalau kau mau bekerja denganku, tak hanya ceongsham sutra dan sekolah saja yang akan kau dapatkan,” rayu Yin Ling seraya memekarkan payungnya. “Kau akan kaya, terkenal, dan bisa jalan-jalan ke luar negeri.”

Sebelum menghilang di tengah kerumunan penonton penari barongsai, Yin Ling sempat melambaikan tangan. Kilauan berlian yang melingkari jari manisnya menikam lensa mataku. Aku masih belum bergerak hingga Yin Ling benar-benar lenyap serupa roh jahat yang diusir pendeta.

Seumur hidup baru kali ini aku menggenggam uang sendiri. Jumlahnya pun ajaib, bisa membeli lima helai ceongsham sutra. Namun, aku tidak ingin membelanjakan uang dari perempuan yang selalu muncul dalam mimpi burukku. Karena itu, aku memutuskan untuk memberikan pada ayah. Agar ayah bisa membayar hutang pada Paman Li hingga lunas.

Terus terang, aku takut sekali pada tukang-tukang pukul Paman Li. Kendati rentenir itu masih adik kandung ibuku, kami tak dibeda-bedakan dengan peminjam lain: bunga hutang selangit.

YIN LING terus mendatangi gubuk-gubuk Tionghoa Kebun di Pulau Belitung. Ia jauh lebih buas daripada Nian Show. Sebagaimana yang kulihat dalam mimpi tidak ada hu dan mantra yang bisa menangkalnya. Letusan mercon dan semburan kembang api tidak bisa menghalau kedatangan Yin Ling. Ia merayu perawan-perawan Tionghoa Kebun untuk kerja di Makau. Tidak sedikit yang terbujuk. Sepupuku, Mei Hwa yang telah bosan menjadi Tionghoa Kebun dan tergiur tawaran Yin Ling, terpaksa memutuskan pertunangannya dengan Li Chen Wang. Mereka batal menikah setelah Cap Go Meh. Entah pekerjaan apa yang diberikan Yin Ling sehingga keperawanan menjadi syarat utama. Tapi, setiap Yin Ling datang ke rumahku, aku masih terus menolak.

Aku dan keluargaku masih terus berpuasa bertahun-tahun lagi agar bisa membeli hu, hio, xiang lu, dan sesaji untuk para dewa-dewi. Tapi, jauh di kedalaman hati, aku bahagia dengan hidup apa adanya.

*) Cerpen ini ditulis untuk mengenang pengarang Lan Fang yang sesungguhnya. Penulis Kembang Gunung Parei, Reinkarnasi, Kembang Jepun, itu berpulang pada 25 Desember 2011.

  1. Makau disebut juga Macao adalah sebuah pulau bekas koloni Eropa tertua di China. Selain terkenal dengan pelacuran dan perdagangan manusia, Makau merupakan pusat perjudian terbesar di Asia.
  2. Guan Yu: Dewa Perang
  3. Hou Yi: Pemanah dari surga.
  4. Burung hong: phoenix
  5. Tionghoa Kebun: Julukan masyarakat Melayu untuk orang-orang Tionghoa yang mencari nafkah dengan berkebun. Identik dengan Tionghoa miskin.
  6. Guanyin: berasal dari India, tapi di China berubah menjadi seorang dewi yang dikenal sebagai “dewi welas asih”.
  7. Xie-xie: terima kasih
  8. Qipao: pakaian tradisional China (seperti ceongsham) dengan cutting terbuka.
  9. Apsara: peri surgawi
  10. Ce: panggilan untuk kakak perempuan atau sapaan untuk perempuan yang lebih tua.
  11. Nian Show. binatang buas pemangsa yang muncul setiap pergantian tahun dalam legenda Tahun Baru Imlek.
  12. Hu: jimat
  13. Xiang Lu: Tempat hio

Jawa Pos, 2015



Cerpen berjudul "Lan Fang" ini merupakan karya penulis Sulfiza Ariska yang dipublis dalam media Jawa Pos, 2015. Sulfia Ariska adalah pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tahun 2014, ia terpilih sebagai penulis emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival ke-11 di Bali.

Cerpen ini ditampilkan SyamSalabim dengan tujuan pembelajaran literasi dan ilmu sastra. Dikutip tanpa mengubah karakteristik material dan referensi dicantumkan sebaik mungkin. Hak cipta sepenuhnya milik penulis dan media yang pertamakali melakukan publikasi. Jika ada yang keberatan dengan pemuatan cerpen budaya Lan Fang, silahkan kontak kami untuk menghapusnya.