Zaman Edan Richard Lloyd Parry
  • JUDUL

    English: In The Time of Madness, Indonesia on the Edge of Chaos
    Indonesia: Zaman Edan, Indonesia Diambang Kehancuran
  • PENULIS

    Richard Lloyd Parry
  • TAHUN TERBIT

    Mei 2008
  • SERIES

  • HALAMAN

    315
  • KATEGORI

    Memoar
  • GENRE

    History, Culture, Social

  • SINOPSIS

    "Ketika orang tidak menghormati adat kami, mereka menjadi musuh, dan kami tidak memandang musuh kami sebagai manusia lagi. Mereka menjadi binatang di mata kami. Dan orang Dayak memakan binatang."

    Demikian kutipan seorang guru Dayak kepada Richard Lloyd Parry ketika dia menemukan dirinya ditawari sate manusia setelah meliput langsung peristiwa pembantaian etnis dan kanibalisme di Kalimantan pada tahun 1997-1999.

    Zaman Edan adalah reportase wartawan asing terkemuka yang menuturkan banyak fakta mencekam mengenai sejarah bangsa ini yang tidak akan pernah ditemukan dalam buku sekolah.

    Meliput dari dekat dan mengalami langsung peristiwa perang etnis di Kalimantan, demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan massal di Jakarta, dan pelanggaran HAM Timor Timur oleh milisi tentara Indonesia menyusul referendum yang mengantarkan kemerdekaan negara itu. Parry bukan hanya jurnalis, tepi pelaku sejarah.

    Dengan berani, Parry mengarungi borok sejarah bangsa ini dan keluar dengan kisah kelam tentang peluru dan mortir, tubuh yang terpanggang, dan kepala yang dimainkan anak kecil. Hasil dari pergolakan Indonesia di titik terendahnya. Bagi Parry, Indonesia adalah keindahan sekaligus kehancuran.

REVIEW


"Zaman Edan" bukanlah ungkapan asing untuk negara ini. Frasa yang sudah terpatri dan sering terngiang di media daring tempat kita berleha-leha, dipakai demi menggambarkan realita sosial bahwa rakyat Indonesia masih jauh dari kata merdeka, madani, dan pancasilais.

Zaman Edan menggambarkan Indonesia sebagai negara kesatuan yang belum utuh, sama seperti sejarah kita, dan begitu pula lah kita sebagai orang Indonesia.

Ketika membaca buku ini, pikiran Syam langsung tertuju kembali ke beberapa fragmen cuplikan scene film kerusuhan Sampit. Kepala dan tubuh tak bernyawa melayang dimana-mana dimainkan para algojo yang buas sambil tersenyum pulas.

Richard Lloyd Parry tentu memiliki emosi yang berbeda dibandingkan dengan Syam ketika menonton film itu. Dia berada ditengah-tengah peristiwa tersebut.

Perry mengawalinya dengan menggambarkan struktur pulau dan kesukuan Indonesia yang Indah. Sabang ke Merauke, Jayapura ke Fak-fak. Bagi Parry nama-nama pulau Indonesia bukan hanya sekedar nama, tapi memiliki pesan atau slogan tertentu.

Tapi, pesan-pesan tersebut tidak sepenuhnya cantik dan layak, ada pula yang hitam dan pahit.

Parry menguji slogan itu dengan mengarungi perjalanan luar biasa mencekam dan penuh gejolak di negeri setengah merdeka ini. Hasilnya, kanibalisme etnis di Kalimantan pada 1997, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, dan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur (1998–1999).

Dengan mata kepala sendiri sendiri, Parry melihat bagaimana mayat-mayat berserakan tanpa kepala dengan lubang menganga di punggungnya. Puluhan kepala terpenggal dipajang diatas drum, dan disisi lain sekelompok orang sedang membakar sate daging manusia untuk dimakan, bahkan dirinyapun tak luput dari ajakan orang-orang Dayak untuk ikut memakan sate manusia.

Parry juga meliput situasi kerusuhan massal di Jakarta tahun 1998, dan secara blak-blakan mengungkap sosok kontroversial Soeharto. Kemudian investigasinya di Timor Timor dan pertemuan dengan para Gerilyawan penolak invasi tentara Indonesia, yang hampir semua dia mulai dan akhiri dengan rasa takut dan emosional.

Semua peristiwa mengerikan dan membuat mual ini, dapat ditemukan tersusun dengan menawan dalam bukunya, In The Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos. Memoar yang terabadikan dan tak satupun menginginkannya.

Reportase yang mengagumkan melalui etika jurnalisme profesional dipadukan dengan sastra kelas tinggi, membuat buku ini dapat dinikmati sebagaimana kita membaca novel thriller dan fantasy. Sayangnya, buku ini bukan novel, bukan juga cerita fiksi, ini adalah memoar pelaku sejarah yang melihat kebenaran dari kacamata manusia yang utuh. Siapkah kita menjadi manusia yang utuh?